Berangkat dari istilah No Viral No Justice yang mulai ramai di pergunjingkan pada ruang publik berangkat pada kritik atas proses Penegakan Hukum yang terjadi di dalam Negeri. Secara sederhana, Publik mulai mempergantungkan kondisi keadilan atas problematika yang menyangkut tindakan hukum melalui tingkat responsivitas Jagat Media Maya dibandingkan dengan Penindakan sesuai dengan Prosedural yang kerap dianggap terlalu berbelit hingga terkesan formalitas. Respon yang justru merupakan sebuah tamparan bagi Penyelenggara Penegak Hukum dalam negeri, yang dalam hal ini merupakan Kepolisian.
Jalan terjal kepolisian menuai banyak polemik serta atensi yang tiada henti baik dari segi Pelayanan Publik serta Penanganan Kasus yang mendapat sorotan serius. Penyalah gunaan wewenang kerap kali meliputi perjalanan suntuk kepolisian, Opini atas ribuan kasus dugaan kekerasan serta mal administrasi yang dilakukan oleh kepolisian sudah bukan menjadi hal tabu yang meruncing dari kritikus advokasi HAM. Belum lagi para korban “Salah Tangkap” yang sudah terlanjur ditangkap, dipukuli, dan diadili atas perbuatan yang tidak mereka lakukan merupakan titik kelam kepolisian.
Ardi manto Adiputra, Wakil Direktur Imparsial sebuah lembaga sipil yang mengadvokasi perlindungan HAM menyatakan bahwa Persoalan besar yang semestinya menjadi fokus Pembenahan Kepolisian, antara lain tindakan atau praktik penyiksaan juga kekerasan yang seakan menjadi budaya kuat serta akuntabilitas yang rendah terkait penanganan atas suatu perkara. Lebih lanjut ia juga menyebut bahwa Permasalahan lainnya terkait Impunitas terhadap polisi yang terlibat perkara serta Independensi Polri dari Politik. “Masukan dan kritik dari publik harus di utamakan, salah satunya korban atau keluarga korban yang pernah terdampak kinerja kepolisian yang salah atau lalai” Ujarnya seperti dilansir dalam laman BBC Indonesia (5/7/2024).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam catatannya menyebut dalam rentang Juli 2020 hingga April 2024 terdapat setidaknya 2.148 dugaan kekerasan yang dilakukan Polisi di berbagai wilayah Indonesia. Angka ini tentu merujuk pada dugaan Pelanggaran dalam hal Penembakan, Penganiayaan, Penyiksanaan, Penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, kejahatan seksual, hinga pembunuhan diluar putusan pengadilan. Disisi yang sama, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyebut pada tahun 2023 kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak diadukan public terkait kasus dugaan pelanggaran HAM. Setidaknya terdapat 2.753 delik aduan yang diterima Komnas HAM, dengan 771 aduan menyangkut Kepolisian.
Kepolisian yang merupakan Lembaga Penegak Hukum dengan Slogan Pengayom Masyarakat tentu seharusnya diisi oleh orang – orang yang memiliki kapasitas serta dedikasi tinggi atas Penegakan Hukum sesuai dengan SOP yang ada serta Idealistik akan Pengayoman kepada masyarakat. Kemunculan No Viral No Justice yang santer dimuka public tentu menandai kekecawaan publik terhadap Institusi Kepolisian yang seharusnya dapat siap dan sigap dalam menangani permasalahan hukum namun kerap kali menjadi “Pahlawan Kesiangan” atau bahkan “Pahlawan yang entah kemana” jika kejadiannya tidak viral terlebih dulu.
Disisi yang sama, Kepolisian juga harus bebenah dalam hal proses Penegakan Hukum yang sesuai dengan SOP Kepolisian yang diatur dalam Undang – Undang. Tidak ada Penangkapan atau Penindakan yang terkesan serampangan oleh Aparat Penegak hukum yang justru seakan melanggar hingga dapat dijerat Hukum. Publik juga baru – baru ini dibuat heboh sekaligus bingung atas tindakan Kepolisian yang mengindikasi terjadinya salah tangkap akibat terlalu tergesa – gesa dalam memutuskan suatu perkara yang juga dapat diduga bahwa tindakan ini sengaja dibuat dalam merekayasa suatu peristiwa. Bisa kita sebutkan Problematika yang dihadapi oleh Kepolisian atas kasus yang kemudian viral diantaranya, Kasus Vina Cirebon dengan dugaan salah tangkap, Kasus Afif Maulana seorang bocah yang tewas dengan dugaan disiksa oknum kepolisian, Tragedi Kanjuruhan, Penembakan Warga Bangkal, Kasus Wadas, Represifitas di Rempang, dan ribuan kasus lain baik yang dapat naik menjadi Viral ataupun Tenggelam dan luput dari atensi publik.
Sudah sewajarnya untuk mengadakan reformasi di tubuh Kepolisian dalam rangka bertransformasi pada wujud citra utama dari Rastra Sewakotama yang menjadi moto utama Kepolisian yakni Abdi Utama bagi Nusa Bangsa. Sewajarnya, tubuh kepolisian diisi oleh individu yang memiliki niat tulus dan dedikasi tinggi untuk mengabdi bagi masyarakat dan bukan diisi oleh segelintir orang tidak memiliki dedikasi kemasyarakatan dan bahkan tidak paham atas esensi Kepolisian itu sendiri yang justru akan melumpuhkan kinerja dari Polri.