Pasca Putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Terkait Gugatan Batas Umur Cawapres yang tertuang dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI-2023 terjadi banyak sekali pandangan dan asumsi Negatif yang merujuk pada Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Tengah Peradilan Konstitusi. Berbagai isu miring bahkan sangat melekat terkait dengan putusan ini diantaranya adanya Kepentingan lain yang masuk dalam dissenting opinion putusan ini dan bahkan menganggap Mahkamah Konstitusi sudah kehilangan Integritasnya sebagai Lembaga Yudikatif (04/11/2023).
Kebingungan dan ketidakwajaran terkait Putusan ini juga di aminkan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konsitusi Said Isra, Ia bahkan mengatakan kebingungannya terkait Penentuan dari Dissenting Opinion yang harus dimulai dari mana. “Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enak setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkammah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat” ungkapnya saat pembacaan putusan seperti dilansir dalam laman Republika (16/10/2023). Kebingungan ini dilandasi karena Mulanya jika kita ketahui, Mahkamah Konstitusi pernah menolak gugatan atas Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menggugat untuk menurunkan batas usia capres-cawapres yang semula dari 40 menjadi 35 tahun. Namun, pasca putusan itu K malah memutuskan untuk menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Rea, seorang Mahasiswa UNS yang mengajukan gugatan atas Minimal Usiap Capres-Cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi Kepala daerah.
Problematika yang dihasilkan akibat dampak dari Putusan MK yang dianggap kontroversi ini bahkan memicu demonstrasi dari elemen mahasiswa yang menganggap adanya kepentingan politik yang masuk kedalam Ruang Konstitusi sehingga putusan menjadi berubah haluan. Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga I Wayan Titib Sulaksana bahkan menilai bahwa putusan ini sudah diluar dari kewenangan MK. Ia menilai seharusnya MK tidak memasuki ranah ini karena memang bukan kewenangan dari MK itu sendiri. “Putusan MK itu sudah melampaui kewenangan, tidak boleh menciptakan huku baru” Tegasnya dilansir dalam DetikJatim (20/10/2023). Ia secara tegas juga menuding bahwa putusan itu memiliki unsur nepotisme karena ketua MK sendiri merupakan kerabat dari Presiden dan menganggap seharusnya ia tidak melakukan tindakan memilukan ini.
Putusan Konstitusi ini kemudian menimbulkan Opini Publik yang menyebut Putusan ini merupakan Putusan Keluarga dan bukan Putusan Konstitusi. Hal ini bukan tanpa alasan, Posisi Ketua MK yakni Anwar Usman yang berstatus sebagai Ipar dari Presiden Joko Widodo yang juga sekaligus Paman dari Gibran Rakabuming Raka ini dianggap sangat mungkin untuk mempengaruhi posisinya di MK. Bahkan Opini ini menguat dengan risalah Putusa Konstitusi yang bergulir secara signifikan. Dalam hal ini Publik tidak dapat disalahkan karena memang terjalin Kekerabatan diantara Petinggi Negara di Ranah Keluarga yang sangat memungkinkan terjadinya Kepentingan Keluarga. Bahkan sejumlah pihak menilai Anwar Usman telah melanggar Kode Etik sebagai Hakim Kosntitusi.
Polemik ini akhirnya dibawa menuju Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dimana, MKMK yang di pimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie menerima Aduan dari sebanyak 15 Guru Besar serta Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara atas dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim MK. Al hasil, MKMK kemudian mengadakan gelaran sidang Pemeriksanaan Kode Etik terhadap Seluruh Hakim MK yang terlibat dalam persidangan Putusan.
Dari perspektif Akademis, kita dapat menilai bahwa dan bahkan sekaliber Lembaga yang dianggap memiliki Integritas Paling Tinggi karena bertugas Mengawal serta Menjaga Keberlangsungan Konstitusi itu sendiri mengalami Intrik yang terkesan sangat Politis. Hal dasar ini bisa terjadi tentu lagi lagi terkait adanya Kerabat dari Penyelenggara Pemerintahan yang masuk dan menjabat dalam Posisi Hakim Konstitusi. Publik mampu berburuk sangka atas apa yang terjadi karena memang kacamata umum sekalipun dapat menilai dan bahkan setara dengan Neo-Nepotisme. Petrus Selestinus selaku anggota dari Pergerakan Advokat Nusantara atau Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi bahkan dengan Tegas menyinggung Tubuh MK saat ini sudah tersandera. “MK Sejak Mei 2022 sampai sekarang tersandera kemerdekaan dan kemandiriannnya akibat nepotisme itu” Ujarnya dikutip dalam Tempo (1/10/2023).
Peristiwa memilukan yang terjadi di tubuh Lembaga Konstitusi ini tentu harus dijadikan catatan kedepannya dan segera di evaluasi oleh Petinggi Negara, jika hal ini terus dibiarkan dalam artian Indikasi – indikasi kepentingan Politik Praktis terus masuk kedalam Kamar Konstitusi ini akan membuat Marwah Lembaga tersebut jatuh dan masuk kedalam jurang degradasi. Lembaga yang harusnya menjadi Gate Keeper dari sebuah Negara tentu harus memiliki Integritas yang tinggi dan lepas dari Unsur – unsur Politik, itupun berlaku dalam diri Individual seorang Hakim Konstitusi karena dalam dirinya telah melekat marwah Pejabat Konstitusi. Argumentasi mengenai Individual dan Lencana Kenegaraan akan menjadi Argumentasi delik karena tentu akan sangat membingungkan untuk menilai dia mewakili Siapa ataupun diwaktu apa dia menjadi seorang pejabat publik. Konsep Etika yang harus di tekankan agar Proses Kelembagaan Mahkamah Konstitusi tetap terjadi dan tidak mengalami Degradasi menjadi Mahkamah Keluarga.