Akhir – akhir ini, publik di hebohkan oleh berbagai Fenomena Bunuh diri yang naasnya menyasar pada Kalangan Remaja. Fenomena yang menyasar Kaum “Milenial” ini mengartikan adanya kesalahan serta ketidakstabilan dalam Emosional yang didukung dengan kurangnya atau bahkan lunturnya konsen Teologi Agama islam dalam Pribadi Milenial.
Paradigma mengenai Fenomena ini kerap kali disebutkan dalam bentuk “Mental Healt” atau kesehatan Mental. Dimana Individu mengalami tekanan batin yang cukup kuat, kecemasan yang menguat dan seakan dirinya terisolasi oleh lingkungan sekitar sehingga tidak mampu untuk meluapkan ataupun menceritakan tentang apa yang dialaminya. Kejadian ini menjadikan dirinya semakin tertekan, hilang kendali hingga dapat melakukan tindakan tindakan diluar nalar dan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya.
Fenomena ini kemudian seakan menjadi sebuah Modeling, dimana Perilaku semacam ini dinilai oleh sebagian kalangan menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Psikolog Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita mengatakan bahwa Rentetan kasus yang terjadi ini besar kemungkinan dapat dipengaruhi oleh peristiwa sebelumnya. “Tapi, setelah beberapa kasus yang terjadi dan disusul kasus yang lain, seolah – olah ini kalau teori psikologi disebut Modelling. Jadi, mereka yang melakukan percobaan bunuh diri dan berhasil itu akan menjadi model bagi yang lainnya bagi mereka yang bermasalah” ungkapnya seperti dilansir dalam Republika (3/10/10/2023).
Konsep Modelling ini kemudian di dukung dengan Paradigma “Mental Healt” yang bergulir di kalangan Milenial. Mental Healt sendiri merujuk pada Kesehatan Mental yang dialami seorang individu yang mengalami tekanan. Data Statistik dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menyebutkan bahwa ada 971 Kasus Bunuh diri yag terjadi di Indonesia sepanjang Periode Januari Hingga 18 Oktober 2023. Kejadian memilukan ini menandakan adanya kemunduran mental dalam hal pengelolaan masalah terlebih akan sangat berbahaya jika mayoritas menyasar pada Kalangan Milenial.
Sejatinya, Kesehatan Mental itu dapat dijaga tidak hanya dengan melakukan Hubungan Interaksi dengan sesama namun juga Perlunya penguatan batinniyah khususnya dalam hal spritualitas. Zaenal Arifin dalam Bukunya “Terapi Spritualitas” menyebutkan bahwa Manusia adalah makhluk multi dimensi yang mana meliputi Fisik, Psikologis, Inteletualitas, Sosial, dan Spritual. Dari sudut pandang ini bisa kita lihat bahwa Kesehatan Mental seseorang tidak hanya dapat dilihat dari satu atau dua hal saja. Kekurangan melihat dari berbagai Aspek ini yang kemudian memicu terjadinya peristiwa Bunuh diri semacam ini. “Pelayanan kesehatan yang hanya berorientasi pada aspek fisik sematan, tanpa di barengi dengan pelayanan aspek kebutuhan spritual dan psikososial akan menyebabkan kondisi penyembuahan pasien yang sedang dalam proses perawatan kerap membutuhkan waktu dan proses yang lama, sehingga dapat menyebabkan kondisi pasien mengalami gangguan emosional.” Tegasnya.
Dalam menangani suatu permasalahan, seseorang tidak hanya membutuhkan dorongan moralitas pada orang lain (Belief In aTrancendent) namun juga harus memegang teguh konsep Spritualitas Agama. Dimana Agama menjadi Pilar utama sebagai konsen pemulihan diri. Dalam Perspektif Psikologi Islam sendiri kita mengenai Ruh yang merupakan entitas jiwa yang berasal dari Allah SWT. Ruh yang kemudian menggerakan serta menumbuhkan raga ataupun jasmani dari diri manusia. Ruh sendiri memiliki kelekatan dengan Kondisi Fitrah dimana ini merupakan Kondisi Psikis manusia yang mengatur Hubungan Manusia dengan Sang Pencipta yakni Allah SWT. Zaenal Arifin dalam Bukunya juga menekankan Dimensi Fitrah ini yang kemudian menghasilkan kesadarn dan pengenalan yang bersifat transendental dan hal yang berbasis eskatologis yaitu Keyakinan/Kepercayaan. “Kurangnya keterhubungan baik yang bersifat vertikal (Manusia) maupun horizontal (Ketuhanan) akan berdampak pada kesehatan psikologis dan Spiritual” Ungkap Zaenal dalam bukunya.
Dari Fenomena ini, kita kemudian dapat melakukan analisa bahwa terdapat ruang kosong dalam dimensi Teologi pada seseorang yang kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan jiwa terjadi pada Psikologi seseorang. Hal ini yang kemudian mengakibatkan kecemasan berlebih dan menganggap dirinya terisolasi oleh siapapun dan apapun, sementara dirinya seharusnya masih memiliki harapan lain atau dalam hal ini merupakan Agama yang ia yakini. Penekanan Nilai – nilai agama ini yang kemudian harus ditekankan agar masyarakat khususnya generasi milenial tidak mudah putus asa akan segala sesuatu, apalagi kita saat ini mengalami kontestasi global dimana persaingan makin ketat dan arus informasi yang jika memang tidak dapat menyaringnya akan menimbulkan gangguan mental lainnya.