Mendekati Bulan Ramadhan, Umat Islam di seluruh penjuru dunia kerap kali melakukan Persiapan dalam menyambut Keberadaan Bulan Suci ini khususnya di Indonesia. Kedatangan Bulan Suci ini kemudian dipenuhi Intrik Pandangan dalam Penentuan 1 Ramadhan. Penentuan 1 Ramadhan sendiri kerap kali di kaitkan dengan 2 Metode yang bersumber dari 1 Pandangan hadist yang sama, yakni metode Rukyat dan Hisab. Keberadaan dua Metode ini khususnya di Tanah Air kemudian di Identikkan dengan 2 Organisasi Islam Terbesar yang ada di Indonesia Yakni Muhammadiyah dengan Metode Hisabnya dan Nahdatul Ulama dengan Metode Rukyatnya (07/03/2024).
Dilansir dalam laman mirror.mui.or.id, Rukyat sendiri secara Bahasa diartikan sebagai “Melihat” yang dalam konteks penentuan awal bulan ini sendiri dapat diartikan sebagai Melihat hilal atau bulan baru di ufuk baik menggunakan mata kepala secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong. Disisi yang lain, Hisab secara bahasa berarti menghitung dimana metode hisab ini mengandalkan metode Hitungan ilmu falak atau ilmu astronomi guna memastikan hilal sudah dalam keadaan wujud atau belum dalam penentuan awal Ramadhan. Keberadaan dua metode ini kadang kala saling memiliki perbedaan dalam menentukan awal dari Ramadhan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayat al – Mujtahid wa Nihayat al – Muqtashid memaparkan bahwa Perbedaan dalam penentuan Awal Ramadhan dalam penggunaan Hisab ataupun Rukyat sudah terjadi sejak era sahabat dan tabi’in. Menurut Ibnu Rusyd, Sahabat Ibnu Umar adalah contoh sahabat yang memegang metode Rukyat dalam menentukan awal dari Ramadhan. Disisi lain, Terdapat Tabi’in Mutharrif bin Syikhir yang lebih memilih menggunakan Metode Hisab. Ia juga menambahkan Perbedaan ini mengacu pada Perbedaan Pandangan dalam memahami Hadist :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Nabi ﷺ bersabda, atau Abul Qasim ﷺ telah bersabda, “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan (mendung), maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Syaban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari).
Menyikapi Hadist ini, Sebagian ulama Menafsirkan bahwa penentuan harus menggunakan Rukyat atau melihat secara pasti, sementara Pandangan lain menyatakan Justru karena terdapat Indikasi Hilal akan Sulit terlihat oleh mata karena berbagai faktor, serta dilandasi berkembangnnya ilmu matematika dan astronomi mengungkap bahwa sesungguhnya penentuan dapat dilangsungkan dengan perhitungan.
Perbedaan paradigma ini kerap kali dianggap sebagai Disparitas atas Pembenaran dari masing – masing pihak, namun sesungguhnya ini menjadi tanda bahwa Islam mengalami Perkembangan dan Perbedaan Pandangan adalah hal yang biasa karena Penentuan ini masuk dalam kategori Ijtihad yang dilandaskan berdasarkan Hadist yang sama sama Shahih dan rujukan yang sama. Shofwatul Aini dalam Disparitas Antara Hisab dan RUkyat: Akar Perbedaan dan Kompleksitas Percabangannya memandang bahwa Perbedaan ini adalah hal wajar karena ranah ini memang masuk dalam lahan Ijtihad bagi para Fugaha. Baik dari Pengunaan Metode Rukyat maupun Metode Hisab seharusnya bisa melengkapi satu sama lain, karena memang data atau rujukan yang digunakan adalah satu kesatuan. Ia menggungkapnya Petunjuk yang diberikan Rasulullah SAW justru memberikan 2 Perspektif Kemudahan. Dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa untuk memulai puasa adalah dengan melihat jilal, namun terdapat sambungan untuk menggenapkan menjadi 30 Hari jika dirasa kesusahan dalam melihat hilal akibat tertutup awan.
Adanya Disparitas ini dalam Perspektif Umum menjadi Nuansa Berbeda dalam Islam yang menunjukan bahwa Islam dapat menyesuaikan diri terhadap zaman tanpa merubah Esensi ataupun Pandangan Dasar akan Islam Itu sendiri. Penggunaan 2 Metode ini bukan diartikan sebagai Perbedaan yang menimbulkan Perpecahan akibat tidak mengikuti Pandangan A atau B tapi lagi lagi 2 Perspektif ini memiliki Rujukan dan “Ijtihad” yang sama. Adanya Deferensiasi atau Khilafiyah yang mungkin akan terjadi dalam melakukan Ijtihad juga sesungguhnya bukan hal yang menjadi Kesalahan semata. Sangat penting, menjadikan 2 Perbedaan pandangan ini menjadi alat utama dalam menunjukan Persatuan Islam khususnya di Indonesia yang dapat membuktikan bahwa Islam tidak mengekang terkait daya Pikir setiap Pemeluknya sesuai dengan tuntunan ataupun rujukan Hadist dan Al Qur’an dalam menggapai Kesatuan dan Harmoni menuju Ramadhan.