Belakangan ini tengah ramai menjadi Perbincangan Publik mengenai Naiknya Biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang terjadi di berbagai Perguruan Tinggi Negeri. Naiknya UKT sendiri disinyalir akibat Penyesuaian dengan kondisi Perekonomian yang ada di sekitar serta kebutuhan lainnya. Sementara, merupakan sebuah fakta bahwa “Kampus Negeri” yang memiliki stigma di masyarakat terkait biaya yang tidak terlampau mahal, nyatanya tidak Pure benar adanya atau bahkan memiliki biaya yang lebih tinggi.
Perbandingan Kampus Negeri dan Swasta sejatinya memiliki Paradigma tersendiri di ranah publik. Berbagai paradigma ini biasanya meliputi Biaya dan Kualitas dari Kampus itu sendiri yang kadang kala malah membuat segregasi akibat Pemahaman yang keliru dalam membandingkan keduanya. Misalnya Terkait Biaya “Terjangkau” yang di ampu dari Perguruan Tinggi sejatinya tidak dapat di tinjau dari Realitas Perguruan Tinggi tersebut berstatus “Negeri” ataupun “Swasta” karena pada kenyataannya Perbandingan Biaya dari kedua Status ini tidak jauh berbeda khususya pada Jenjang Program Studi yang memiliki kuantiti minat yang banyak di masyarakat. Perguruan Tinggi Negeri memiliki subsidi yang diberikan oleh Negara Melalui Kementrian serta Perbantuan Tarif UKT yang didasari dari Golongan yang diambil, namun kadang kala Perbandingan ini tidak terlalu signifikan dengan Biaya yang ada di Kampus Swasta atau bahkan dapat lebih terjangkau.
Dalam beberapa kasus, Pembiayaan yang terjadi di Perguruan Tinggi justru memiliki selisih yang cukup signifikan akibat jalur Pendaftaran yang di ampu. Perguruan Tinggi Negeri biasanya menyediakan Berbagai Jalur atau Tahapan Pendaftaran yang biasanya dapat di akses. Dilansir dalam laman detik.com setidaknya terdapat 4 Jalur Pendaftaran diantaranya, Jalur SNBP (Seleksi Nasional Berbasis Prestasi) dimana jalur ini hanya menggunakan kumulatif nilai raport dari Individu yang ingin mendaftar. Lalu Jalur SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes) yang mana jalur ini melibatkan tes atau ujian tertulis sebagai jalur masuk perguruan tinggi secara serentak yang di ujikan secara nasional. Selanjutnya jalur Mandiri yakni Seleksi Penerimaan yang diadakan oleh Perguruan Tinggi tanpa melalui seleksi nasional atau dapat dikatakan jalur umum, dan yang terakhir melalui Program Beasiswa Presasi. Jenjang Jalur Pendaftaran ini pun juga memiliki besaran yang bervariatif dan mempengaruhi tingkat Pembayaran yang dilakukan nantinya.
Paradigma selanjutnya tedapat pada kualitas yang kerap kali dibandingkan. Perbandingan keliru yang bahkan dirasa dapat membuat segregasi ini akibat Masyarakat biasanya memandang bahwa Perguruan Tinggi Negeri lebih memiliki Kualitas serta Tenaga Ajar yang Kompeten dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Swasta. Pada Kenyataannya, Kualitas dari Sebuah Perguruan Tinggi bukan dilihat dari Status “Negeri” ataupun “Swasta” namun dapat ditinjau langsung dari Proporsional atau Metode Pengajaran yang dilakukan Oleh Tiap Perguruan Tinggi. Disisi lain, hal ini secara formal juga dapat diketahui melalui Akreditasi yang dimiliki. Terdapat Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) serta Berbagai Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang menjadi acuan utama dalam Menentukan Kualitas dari Peguruan Tinggi tersebut secara Formal.
Realita yang dihasilkan dari Pola Pikir yang keliru terhadap Perguruan Tinggi ini tentu akan mengkambing hitamkan salah satu dari Perguruan Tinggi karena akan dianggap kurang kompeten didasari dari Paradigma yang keliru tanpa memahami Esensi utama dari Penyelenggara Pendidikan itu sendiri. Keberlanjutan dari kekeliruan ini tentu akan menghasilkan dikotomi antar status antar Institusi yang berdampak pada Mahasiswa sebagai individu yang ingin ataupun sedang mengampu Pendidikan Tinggi. Jika ingin merunut pada Esensi, Kualitas Perguruan Tinggi itu sejatinya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang. Sebuah kenyataan bahwa Kemampuan dari Seorang Alumnus Mahasiswa tidak mengacu pada dimana ia pernah Berkuliah atau Mengenyam Pendidikan, namun didasari dari Kemauan serta Keinginan Individu itu sendiri untuk Dua tiga Langkah lebih maju disbandingkan Individu lainnya
Stigma Normatif yang sewajarnya dilihat bahwa setiap Perguruan Tinggi memiliki Kelebihan ataupun Kekuranan yang mengacu pada Berbagai Faktor dan bukan mengacu pada Status “Kepemilikan” Lembaga itu sendiri. Keyakinan bahwa Pendidikan itu dapat diraih dimana dan kapanpun serta bukan menjadi “Keterpaksaan” dalam memilih Institusi Pendidikan Tinggi. Atensi yang perlu diperhatikan oleh publik ini tentu agar tidak terjadi dikotomi yang ada di tengah Perguruan Tinggi baik Negeri ataupun Swasta.