Bimbingan Konseling sebuah kebutuhan ditengah padatnya kegiatan Pemelajara yang dilakukan oleh para siswa di lingkungan Pendidikan. Ketersediaan Guru Bimbingan Konseling (BK) memang sudah sewajarnya dilakukan pula oleh Instansi Pendidikan dalam hal ini Sekolah dalam memberikan tidak hanya Pendidikan Formal akademis, namun memberikan Pendidikan terkait Mental Healt. Guru BK sendiri dihadirkan untuk memahami lebih lanjut terkait Problematik yang dihadapi oleh para siswa yang tidak mampu di takar dari kacamata umum. Ia hadir dengan pendekatan yang lebih inklusif dan lebih personal agar mampu menjamah ranah psikologi murid. Hal ini biasanya di tujukan agar Guru mampu memberikan supplement tambahan dalam bentuk dukungan moralitas terhadap sang anak. Namun, kerap kali Kehadiran Guru BK menjadi Realitas yang kontradiktif karena sarat dengan momok yang menakutkan.
Heni Purwaningsih dalam Jurnalnya Peran Guru Bimbingan dan Konseling dalam Melayani Peserta Dididk di masa pandemic COVID-19 menyebutkan Tugas utama seorang guru bimbingan dan konseling adalah membantu tercapainya tujuan Pendidikan nasional. Dalah konsepsi lain, BK menjadi ranah vital karena ia menangani ranah psikologis siswa yang kerap kali menjadi bias jika di tangani secara umum tanpa menggunakan Analisa dari kaidah psikologi. Namun, Peranan ini menjadi kontradiktif ketika muncul perspektif kuat terkait identitas dari Guru BK tersebut. Heni dalam jurnalnya juga menyebut Masyarakat memandang salah tentang guru BK yang identik dengan “Polisi Sekolah”. Peserta didik justru memiliki rasa takut apabila berhadapan dengan guru BK dan paradigma yang ada akan menyatakan bahwa siswa yang masuk ke ruang BK adalah anak yang bermasalah dalam konotasi negatif.
Hal kontradiktif semacam ini yang kemudian makin di lekatkan kepada Individual Guru BK itu sendiri. Acap kali Guru BK justru malah memiliki Penampilan yang membuat orang menjadi sangat segan dan menambahkan kesan sekat terhadap siswa. Sementara para siswa yang memiliki permasalahan Psikologis menjadi segan dan bahkan tidak tau harus melakukan konsultasi kemana karena kurangnya penyuluhan serta Perspektif dari Format dari Guru BK itu sendiri yang terkesan menakutkan. Hasil dari kondisi psikologis yang tidak mampu di selesaikan ini kemudian diselesaikan dengan perspektif siswa itu sendiri dan tidak jarang malah menyebabkan permasalahan lainnya.
Dalam Jurnal Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik dan Professional Guru Bimbingan dan Konseling milik Epi Kurniasari disebutkan setidaknya terdapat 4 Bidang Bimbingan di sekolah yaitu Bidang Pribadi, Sosial, Belajar, dan Karir. Dari penjabaran konsepsi ini nyatanya tidak ada keharusan dari Guru BK untuk memberikan Punishment kepada siswa sehingga ia mendapat perspektif negative dari siswa itu sendiri. Distorsi yang ada seperti ini tentu sangat membingungkan dan keluar dari esensi Bimbingan Konseling itu sendiri. Ketersediaan Siswa untuk membicarakan tentang problematikanya justru terhadang oleh stigma menakutkan sementara problematika psikologis ini menjadi perhatian yang sangat penting. Lebih lanjut Keberadaan Guru BK yang seharusnya pula menjadi penunjang dari Kompetensi Pedagogik justru menjadi sosok yang sarat dengan sentimentasi.
Lebih lanjut, Amalia Alvi dan Ma’fufah Hastin dalam Jurnalnya Sitgma Guru Bimbingan Konseling menekankan bahwa Keberadaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah adalah sebagai saran untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang dihadapi atau dari masalah yang mungkin akan di hadapinya, artinya bimbingan dan konseling pada dasarnya berupaya membantu individua tau siswa untuk mengatasi masalahnya. Lebih lanjutnya ia juga menyatakan bahwa paradigma siswa terhadap BK sendiri mengarah pada seseorang yang ditugaskan untuk mencari siswa yang bermasalah dan diberi wewenang untuk mengambil Tindakan bagi siswa siswi yang bermasalah. BK didorong untuk mencari bermacam macam bukti untuk mengakui kesalahan dari target utama. Stigma semacam ini menandakan bahwa terdapat kesalahan yang cukup fatal dalam pendekatan yang dilakukan oleh Guru BK.
Dari Analisa diatas, tentu perlu adanya pembenahan karakter dan mindset yang dilakukan oleh Guru BK. Hal semacam ini diperlukan agar BK Kembali masuk dalam esensi utamanya untuk mencegah atau menangani hal hal yang bersifat Psikologis siswa. Praktisi Psikologi Manthei dalam Bukunya Counseling: A Skill Approach menyebutkan bahwa BK atau Konselor haruslah memiliki kompetensi komunikasi yang bermutu dan memiliki sifat luwes, terbuka, dapat eneria orang lain, hangat, dapat merasakan penderitaan orang lain, dapat mengenali diri denan baik, tidak berpura – pura, tidak ingin menang sendiri, dan menghargai orang lain, serta objektif. Proporsi ini yang harus menjadi landasan dasar dari seorang BK agar siswa tidak segan terhadap mereka dan justru menjadi teman untuk sharing yang baik bagi siswa. Karena perlu digaris bawahi, Ketergangguan Kondisi mental yang dimiliki oleh siswa sejatinya menjadi salah satu tanggung jawab dari BK karena ia menjadi Gap utama dalam ranah Psikologis yang seharusnya mampu mencegah Tindakan Tindakan yang mengarah pada Ketergangguan Mental hingga menyebabkan tindak Kriminal.