Dalam sebuah Negara Demokrasi penyelenggaraan Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan hal wajib yang kerap disambut dengan suka cita oleh seluruh elemen masyarakat. Panggung Demokrasi ini merupakan bentuk dari Pertunjukan yang ditujukan pada public sekaligus bentuk Partisipasi Aktif Rakyat dalam pengambilan keputusann politik dalam negeri. Dari Sejumlah Tokoh masyarakat, hingga Pejabat Petahana yang Kembali menaiki Panggung Demokrasi bersua Bersama dalam sematan “Atas Nama Rayat” berjuang dalam satu kompetisi dimana suara rakyat menjadi penentu kemenangan. Berbagai Siasat maupun Strategi kemudian dikerahkan demi tercapainya kemenangan puncak dalam eskalasi demokrasi dalam negeri. Namun, Perkembangan siasat serta strategi ini kemudian kerap menunjukan adanya ancaman serius terhadap eksistensi Hegemoni yang ada pada Publik, salah satunya melalui Money Politic.
Ebin Danius dalam Politik Uang dan Uang Rakyat menyebutkan bahwa Istilah Money Politic (Politik Uang) merujuk pada Penggunaan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk mempengaruhi seseorang dalam penentuan keputusan. Implikasi dari hal ini tentu agar masyarakat dapat dengan mudah menentukan pilihannya dalam kontesntasi Pemilu, baik dalam Pemilihan Legislatif maupun Eksekutif dalam ranah Pemerintahan.
Keadaan semacam ini kemudian menjadi Momok besar dalam noda demokrasi, khususnya dalam catur perpolitikan dalam negeri. Eza Helyatha Begouvic dalam jurnalnya Money Politik pada kepemiluan di Indonesia menyebut bahwa politik uang merupakan suap dimana suap dalam interpetasinya tidak lain ialah uang sogok. Peristiwa memilukan yang dipertontonkan secara massif ini bahkan dinilai sudah memasuki berbagai macam elemen. Ia juga menyebut bahwa setidaknya Politik Uang memasuki tiga lapisan dalam wilayah operasinya. Pertama, lapisan atas yakni transaksional dilakukan antara elit ekonomi dengan elit politik (Pimpinan Parpol/Calon Legislatif/Calon Eksekutif). Kedua, Lapisan tengah yakni transaksi elit politik (Fungsionaris Parpol) dalam penentuan calon legislative/eksekutif. Dan Ketiga, Lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik (Calon Legislatif/Eksekutif) dan Fungsionaris Parpol dengan massa pemilih.
Realitas Sosial dapat diketahui menjadi penyebab utama dari terjadinya praktik Politik Uang. Ikrimatul Amal dalam Jurnalnya Fenomena dan Faktor Penyebab Masifnya Praktik Politik Uang pada Pemilu di Banten menyebut setidaknya terdapat 3 Faktor yang menjadi penyebab utama dari Politik Uang, yakni Faktor Ekonomi, Faktor Pendidikan, dan Faktor Budaya. Dari ketiga faktor ini, Faktor Ekonomi menjadi titik perhatian khusus karena memiliki Implikasi yang kuat dan sasaran utama dari praktik ini. Kenyataannya kemiskinan dijadikan alat utama olej para elit dalam melakukan Vote Buying atau pembelian suara untuk memenangkan salah satu calon yang di usung. Masyarakat yang memiliki perekonomian rendah bahkan dapat dikatakan menjadi salah satu obyek ekspoloitasi dalam kepentingan politik uang. Ditambah, terdapat data – data statistik yang menyebutkan masih banyaknya angka kemiskinan yang terjadi di berbagai provinsi hingga bahkan di kota – kota besar sekalipun.
Kejadian yang dianggap menjadi dilematis ini kemudian hadir karena sisi yang lain Masyarakat dengan perekonomian yang rendah tentu sangat membutuhkan Uang sebagai sarana penghidupannya meskipun hal ini tentu bersifat sementara namun kerap kali dipandang sebagai hal yang realistis dan di aminkan oleh public. Masyarakat dengan kelas ekonomi yang berada dibawah rata rata ini kerap kali menjadi sasaran bukan hanya oleh pihak parpol namun pihak pihak yang kerap menjustifikasi mutlak terkait Money Politic yang diterima oleh mereka tanpa memandang penyebab ataupun akar permasalahan utama yang ada.
Problematika utama dari hal ini lagi lagi mengarah pada elit parpol yang kerap melakukan kegiatan ini kepada public dan seakan sengaja menyasar masyarakat dengan perekonomian yang kurang sebagai motor utama dari Money Politic. Tindakan – Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh penyelenggara kepemiluan nyatanya kurang memiliki Impact yang signifikan dalam menangani problematika ini. Tentu, jika pembiaran ini terus berlanjut maka di pastikan Kontestasi Demokrasi dalam negeri yang mana sejatinya menawarkan gagasan masa depan dengan berbagai dialektika ataupun narasinya pada publik yang didasari faktor kelogisan dengan data yang konkrit hanya ditepikan dengan Ratusan juta rupiah yang disebarkan, baik secara tertutup maupun terang terangan.
Jika kita lakukan Analisa, tentu Implikasi dari peristiwa ini akan menimbulkan kekacauan dalam pengambilan kebijakan nantinnya di wajah parlemen. Hal ini diakibatkan orang – orang yang mengisi kursi parlemen ataupun kursi eksekutif memiliki kompetensi yang kurang relevan dengan kebijakan yang dikehendaki rakyat atau bahkan individu yang tidak memiliki kompetensi sekalipun. Publik harus secara massif disadarkan akan kotornya politik uang baik dari segi Kehidupan bernegara ataupun kehidupan sebagai individu yang beragama. Problematika semacam ini yang kemudian harus di tekankan pula oleh para calon yang mana hal ini tentu sangat menciderai keberlangsungan demokrasi di kemudian hari.