Kemajuan Modernisasi Teknologi telah memudahkan atau bahkan memanjakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder. Akses digital yang kian melekat dengan konsepsi kehidupan juga menghantarkan peradaban manusia kearah yang mungkin dianggap lebih efisien. Akses ini dapat dilihat dengan penunjangan kebutuhan primer masyarakat seperti pemesanan makanan yang sudah melalui sistematika daring (Online) hingga dalam Struktur kebutuhan Finansial yang dengan mudah dapat diakses melalui digital. Kebutuhan finansial ini dapat mengarah pada akses Perbankan yakni, Informasi pangsa saham, penarikan tunai, bahkan pinjaman online sekalipun. Kemudahan dalam mengakses finansial di era digitalisasi ini kemudian mendorong banyak pihak untuk memanfaatkan momen tersebut sebagai Langkah atau jalan pintas bagi mendukung Keberlangsungan hidupnya, konsepsi Finansial dari segi pinjaman ini kemudian bertransformasi menjadi Pinjaman Online atau yang kerap kita sebut sebagai Pinjol.
Pinjol atau Pinjaman Online saat ini merupakan topik hangat yang amat di gandrungi oleh Sebagian besar masyarakat Indonesia karena akses peminjaman yang diangggap lebih mudah tanpa melalui fase Administratif atau Birokrasi yang berliku. Dilansir dari databooks.katadata terdapat kenaikan Rasio Peningkatan Transaksi Peminjaman Online yang cukup pesat pada Agustus 2023 lalu dengan total Penyaluran Peminjaman sebesar Rp. 20, 37 Triliun dan diberikan kepada sekitar 13,37 Juta Akun Pinjaman Online. Jumlah Penyaluran yang cukup besar ini tentu membuktikan bahwa Pinjaman Online bukanlah sebuah hal yang dianggap tabu dan bahkan memiliki ikatan yang erat dengan kehidupan modern.
Fenomena ini kemudian mendapat Legal Standing dengan adanya pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang kemudian melakukan pengawasan atas transaksional yang ada dalam Ribuan Pengelola Pinjol yang tersebar di tanah air. Impilkasi dari hal ini terdapat Institusi – institusi yang mulai bekerja sama dengan layanan Pinjol ini hingga bahkan Institusi Pendidikan Tinggi. Dikutip dari laman CNN Indonesia, Institut Teknologi Bandung atau ITB bahkan bekerja sama dengan salah satu platform Lembaga non – bank ini untuk melakukan pembayaran cicilan UKT dengan rasio cicilan variative dari mulai 6 bulan hingga 12 bulan dengan pengajuan Down Paymen (DP) tanpa jaminan apapun.
Disisi lain, Konsen terkait Pinjaman Online ini juga menjadi sebuah Polemik atas rangkaian kasus yang ada. Dari mulai Rasio bunga yang mencekik dikemudiann hari ataupun Proses Penagihan yang mengarah pada kriminalisasi. Praktisi Hukum Slamet Youno menyatakan bahwa kemudahan dalam peminjaman ini harus disikapi dengan serius oleh Publik. “Kemudahan itu jangan membawa kearah yang buruk” ungkapnya seperti dilansir dalam rri.co.id. Menurutnya Platform pinjaman online ini harus lebih diperketat dan lebih diawasi lagi dalam prosesinya dari segi regulasi oleh pemerintah. “Dan terpenting hindari solusi melanggar hukum. Sebenarnya ini jadi perhatian yang harapannya masyarakat tidak perlu takut lapor pada pihak polisi” ujarnya menanggapi rangkaian problematika terkait pinjol ini.
Polemik ini kian meningkat akibat meningkatnya rasio gagal bayar atas Pinjol ini. Dilansir dari laman databooks.katadata, Kelompok Mahasiswa dan Pekerja menjadi Penyumbang gagal bayar terbesar di Indonesia, dengan total kredit macet senilai 39,38% atau sekitar Rp. 602,69 Miliar. Hal ini tentu menjadi Distorsi dimana hal yang dianggap dapat menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan nyatanya menjadi sebuah ironi akibat gagal dalam melakukan pembayaran. Ironi ini kemudian diperparah dengan bergabungnya beberapa institusi Pendidikan yang secara terang terangan melakukan kerja sama dengan Lembaga non perbankan ini dan didasari hanya sebatas konsepsi OJK dan seakan tanpa meninjau dari segi akademis serta implikasi kedepannya.
Normalisasi Pinjol ini dapat dikatakan sebagai hal yang kontradiktif dengan peranan Lembaga Lembaga pemerintah ataupun Institusi Pendidikan dalam memberikan Pemahamanan lebih dalam mengenai Pengelolaan Kebutuhan dan Teliti dalam segala hal. Ironi ini kemudian seakan dimanfaatkan oleh Platform – platform pinjaman online untuk bergerilya dalam mendapatkan keuntungan berlebih dari para nasabah yang memiliki keterbatasan pemahaman atas konsepsi pinjol itu sendiri.
Ironi ini kemudian bertambah dengan bertebarannya layanan Pinjol Ilegal yang dalam hal ini diluar Dari pengawasan OJK dengan memiliki rasio bunga yang cukup tinggi dengan akses yang lebih mudah dibandingkan dengan Pinjol yang berlandaskan OJK. Andi Ahmad Faisal dalam Jurnalnya Attack On Pinjol: Siapa yang salah antara pinjol dan debitur menuturkan bahwa Kemudahan dalam pinjaman online itu juga menimbulkan resiko yang besar, utamanya pada platform yang dianggap illegal namun memiliki kemudahan akses yang lebih.”Cara pemasarannya cukup agresif, mengaplikasikan tenor pinjaman yang singkat, tidak memiliki aturan perhitungan bunga yang jelas dan biasa mematok bunga lebih besar diatas 0,8% per hari dengan tata cara penagihan dengan ancaman dan kekerasan” ujarnya.
Dari berbagai Problematika yang ada, Konsen mengenai Pinjol harus mendapat perhatian yang lebih baik dari Pemerintah yang mengatur tentang regulasi perundang – undangannya serta dari sudut pandang masyarakat yang melakukan Analisa terlebih dahulu terkait berbagai faktor guna menunjang kebutuhan hidupnya. Analisis ini tentu diperlukan agar tidak terjadi kegagalan bayar akibat faktor pemikiran pendek yang berpandangan jalan pintas untuk mendapatkan uang sementara tidak melakukan Prioritas antara kebutuhan apa yang memang benar benar mengalami urgensitas sehingga memerlukan prosesi pinjol ataupun kebutuhan sekunder yang masih bisa di tunda terlebih dahulu. Edukasi terkait hal ini juga penting dilakukan dan dikolaborasikan antara Instansi Pemerintah dengan Instansi Pendidikan agar public menjadi paham akan pentingnya pengelolaan kebutuhan hidup.