Indonesia dengan Jumlah Penduduk Lebih dari 200 Juta Manusia yang tersebar di seluruh Wilayah dengan Luas Daratan mencapai 1,9 Juta Kilometer Persegi membuatnya menjadi salah satu Negara dengan Jumlah Penduduk Terbanyak di Dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak seperti ini, tentu sudah seharusnya Negara Memiliki Tata Kelola Masyarakat yang baik, Pembangunan serta Pengembangan di Segala Sektor demi Menopang Kesejahteraan Masyarakat. Kesejahteraan masyarakat ini tentu dapat diraih dengan Berbagai macam factor, salah satunya penyediaan Lapangan Pekerjaan yang membuat masyarakat memiliki Pekerjaan serta penghasilan yang tentu hal ini akan berimplikasi baik bagi Negara maupun individu tersebut.
Bonus Demografi yang menjadi Doktrin Kontemporer dengan harapan menjadi Tombak utama dalam Estafet Pengurus Negeri nyatanya malah berbanding terbalik dengan Realita yang saat ini dihadapi. Dilansir dalam laman detik.com, Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional pada Mei 2024 mencatat terdapat 10 Juta Generasi Z (Gen Z) yang masih menganggur dan tdak sedang sekolah (Kuliah). Ditambah, Angka ini mengidentifikasi bahwa Gen Z yang sudah memasuki Usia Produktif ini menyasar pada 22,55% dari Total 44,47 Juta anak muda dalam Rentang Usia 15 hingga 24 Tahun dan Belum Bekerja.
Fenomena yang merupakan sebuah Distorsi akan Harapan Bonus Demografi yang merupakan sebuah Keuntungan Bagi Negara berkembang nyatanya menjadi Blunder didalam Negeri. Praktisi Kajian Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya Radius Setiyawan menyebut Tingginya Angka Pengangguran yang di dominasi oleh Gen Z ini sangat mengejutkan dan sangat berbanding terbalik dengan yang di citrakan sebelumnya. “Tingginya angka pengangguran Gen Z tentu mengejutkan kita semua, pasalnya dalam wacana public. Gen Z kerap kali di citrakan sebagai generasi yang kreatif, adaftif, melek teknologi dan label – label fantastis” Ungkapnya seperti dilansir dalam laman Detik.com (24/05/2024). Ia menilai Citra yang selama ini melekat pada Gen Z justru berbanding terbalik dengan Realita di lapangan. Terlebih ia menyebut bahwa Terdapat banyak Gen Z yang tidak mempunyai Privilege dan harus berjuang mati – matian dengan segala keterbatasan.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rahkmat Hidayat juga turut menyoroti hal ini dan menganggap fenomena ini merupakan masalah yang amat serius. Ia menyebut Generasi yang seharusnya memiliki semangat serta Produktif malah bersantai – santai. “Jadi, ini satu sisi adalah suatu kritik terhadap Gen Z. Sekaligus juga ini peringatan, hati hati gitu ya, kondisi Gen Z sekarang ini jangan dibiarkan seperti itu” Ungkapnya seperti dilansir dalam laman rri.co.id (19/05/2024). Kejadian semacam ini tentu akan menjadi permasalahan yang lebih kompleks karena akan mengacu pada Psikologis dari Individu tersebut.
Kejadian yang menjadi sebuah tamparan keras bagi Pemerintah terkait Kesejahteraan dan Penyediaan Lapangan pekerjaan ini tentu menjadi sorotan yang teramat kuat. Pasalnya Double Issue yang selama ini di gaungkan terkait Bonus Demografi serta Citra Generasi Z nyatanya menjadi boomerang bagi pemerintah. Jika kita analisa, Problematika ini terjadi akibat 2 Aspek Baik dari Sisi Pemerintah Selaku Penyelenggara Negara serta Kebijakan dan Juga Generasi Z itu sendiri. Terdapat Mayoritas Generasi Z yang mengalami Salah Jurusan saat menempuh Pendidikan sehingga menyebabkan MissMatch antara kebutuhan Industri atau mungkin Mereka mencoba mengambil peruntungan lain dengan mencari Pekerjaan yang tidak linear dengan Pendidikan yang telah di tempuhnya.
Dilansir dalam laman CNBCIndonesia.com Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas, maliki mengungkap Kejadian semacam ini dapat ditinjau dari aspek ketidakcocokan dunia kerja. “Ada ketidakcocokan antara apa yang dipelajari di sekolah atau pelatihan dengan permintaan dunia kerja.” Ujarnya (20/05/2024). Fenomena ini juga memungkinkan keinginan Berlebih dari Generasi Z untuk dapat merasakan Pekerjaan diluar dari Kapasitasnya sehingga memunculkan Ekspetasi berlebih dan Pusaran Penolakan dalam Industri.
Secara Individual hal ini tentu harus dijadikan bahan acuan untuk evaluasi terkait Kompetensi yang kita miliki dengan jenjang Karir yang kita tuju. Faktor Linear tentu menjadi point penting dalam sebuah pertimbangan rekrutmen karena ini mengacu pada Professionalitas serta Kemampuan Individu. Perasaan “Kekurangan” pada jenjang Karir yang sebelumnya di ampu dalam Pendidikannya tentu harus di hindarkan karena akan memunculkan Ekspetasi berlebih pada Jenjang Karir yang berada diluar jangkauannya. Ditambah, perlu sebagai Individu untuk melakukan Upgrade pada diri sendiri terkait Kompetensi yang dimiliki yang tentunya alih – alih mencari lapangan pekerjaan malah justru membuat lapangan pekerjaan dengan inovasi serta gagasan gagasan terobosan.