Guru, sebuah profesi yang mewakili Pertumbuhan, Perkembangan juga bahkan Pencapaian yang menanti di masa mendatang. Profesi yang membantu ukiran sejarah di kemudian hari, serta berbagai keberhasilan yang ada pada sebuah negeri. Di Tanah air, Guru identik dengan narasi “Pahlawan tanpa Tanda Jasa” yang menyiratkan kerja ikhlas demi membangun peradaban meski kebutuhan sang pahlawan tetap sama dengan manusia lainnya. Berbagai upaya Pemerintah melakukan Pemerhatian terhadap kesejahteraan para guru, baik dalam hal Pemberian Upah, Sertifikasi, hingga bantuan Pendidikan.
Salah satu upaya atau bentuk penghargaan kepada guru ialah pemberian gaji. Gaji yang masuk dalam kategori layak, untuk berbagai upaya serta capaian yang sudah dilakukan oleh Guru dalam membangun kualitas Pendidikan Bangsa. Sementara itu, Pemberian gaji terhadap guru dapat kita lihat secara kasat mata masih dibawah kategori layak utamanya pada guru Honorer. Segregasi yang cukup besar antara kesejahteraan Guru Honorer dan Guru yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pemerintah melalui Undang – Undang Nomor 14 tahun 2005 yang mengatur tentangg guru dan dosen telah menyebutkan terkait Besaran Sertifikasi yang ditujukan pada Guru khususnya. Dalam pasal 16 sendiri disebutkan bahwa Tunjangan Profesi yang diberikan Pemerintah dengan besaran yang setidaknya disesuaikan dengan gaji pokok yang bersangkutan dengan memanfaatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penerbitan UU ini dalam Mekanismenya memang turut membantu menambah dari Pendapatan Guru Honorer utamanya namun aspek ini masih jauh dari kata sejahtera karena besarannya yang sangat tidak besar hingga bahkan pencairannya yang di rapel.
Sudah menjadi Rahasia Umum, bahwa Guru Honorer kerap mendapatkan Gaji bahkan jauh dibawah Upah Minimum Kota tempat asal ia mengajar. Besaran Ratusan ribu yang didapat atau bahkan upah dibawah 300 Ribu dalam kurun waktu satu bulan menjadi momok yang menyedihkan dalam Kacamata Pendidikan. Firman Mansir dalam Jurnalnya “Kesejahteraan dan Kualitas Guru Sebagai Ujung Tombak Pendidikan Nasional Era Digital” menyebutkan bahwa Fakta yang terjadi di Indonesia adalah cerminan Kesejahteraan guru yang masih dianggap kurang, khususnya guru yang berpredikat sebagai honorer. Ia menambahkan terdapat guru yang bahkan mendapat besaran gaji Rp. 300.000 dengan berbagai keluhan sementara jam kerja dan tugas yang mereka lakukan tidak ada bedanya dengan guru – guru yang sudah menjadi PNS. Fakta yang menyayat hati ini tidak hanya ditemukan pada satu atau dua guru, namun tentu terdapat ribuan guru honorer yang juga merasakan hal yang sama.
Dikutip dari laman inilah.com Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknoloi (Kemendikbudristek) melalui Permendikbud 63 Tahun 2023 telah menjelaskan besaran gaji guru honorer diikuti dengan persyaratan yang harus mereka penuhi untuk mendapatkan dana dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dalam pasal 40 (1) juga disebutkan bahwa pembayaran honor digunakan paling banyak 50% dari keseluruhan jumlah Alokasi dana BOS Reguler yang diterima oleh satuan Pendidikan. Namun lagi – lagi, fakta Pendapatan yang ada dilapangan tidak demikian tentu berpadu dengan Peluncuran BOS yang kerap terhambat.
Ini merupakan masalah serius yang harus diperhatikan oleh Pemerintah, karena faktor Pendidikan tidak lain ialah investasi jangka Panjang dalam keberlangsungan Negara. Faktor ini yang kemudian mempengaruhi Kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Negeri hingga menunjang Faktor Perekonomian di kemudian hari. Ungkapan terimakasih yang kerap disampaikan dalam Kurun Waktu 1 Tahun sekali dalam sebuah perayaan nyatanya bukanlah bentuk capaian yang diinginkan oleh para Guru terkhusus Honorer. Upaya Pemerintah dengan Menerbitkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjiann Kerja (PPPK) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru belum dapat dirasakan secara general. PPPK sendiri memiliki Kuota yang cukup terbatas dengan Jumlah Guru Honorer yang ada di tanah air. Terlebih, PPPK memiliki Prosesi yang sama rumitnya dengan Pengajuan PNS dan tidak sebanding dengan Progress Pengabdian yang telah dilakukan Oleh guru – guru Honorer ini.
Bentuk nyata yang harus direalisasikan oleh Pemerintah seharusnnya tidak dengan Kompetisi yang harus dilakukan antar guru honorer demi mendapatkan Posisi PPPK ataupun Status PNS, namun meninjau langsung bagaimana kinerja serta Proses Pengajaran yang ada di lapangan. Pemerataan Kesejahteraan pada guru ini ditujukan agar tidak ada yang enggan untuk menjadi tenaga pengajar atau bahkan menjadikan Profesi Mengajar menjadi Profesi Cadangan nomor sekian dalam pilihan hidupnya. Pemerintah yang dalam Hal ini Kementrian melalui Dinas Pendidikan juga harus memberikan Pelatihan – pelatihan yang tidak fokus pada Urusan administratif, namun fokus pada Pengembangan Kualitas Tenaga Ajar baik dalam hal Penyampaian Bahan ajar yang baik, Inovasi Pembelajaran, Hingga Bahan ajar.
Pemerintah harus lebih menghargai seorang guru yang di implementasikan bukan hanya dengan narasi namun bentuk nyata berupa kesejahteraan utopis dan bukan bualan belaka. Narasi – narasi Kerja Ikhlas sebagai bentuk pengabdian terhadap negeri semacam ini harus memiliki relevansi dan bukan dijadikan delik pemerintah agar abai terhadap kesejahteraan guru. Guru memiliki hak untuk mendapatkan Gaji yang sesuai dengan kapasitas dan bukan malah mendapatkan gaji yang Na’as. Aksi nyata dari Pemerintah tentu sangat diharapkan agar Guru tidak hanya menjadi Profesi yang mendukung Penuh Moral namun juga Pemenuhan Moril bagi Tenaga Pendidik.