Pluralisme Agama Dalam Pendidikan Islam – Achmad Saeful

Karya ini berangkat dari kegelisihan penulis terkait berbagai persoalan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang masih kerap terjadi di negeri tercinta ini, baik yang berupa teror dalam bentuk Bom Bunuh diri maupun dalam bentuknya lainnya. Anehnya yang melakukan kegiatan tersebut adalah mereka yang katanya taat dalam beragama. Di sisi lain, yang membuat penulis miris adalah mereka yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan agama sebagiannya adalah penganut agama Islam dan selalu menisbatkan gerakannya dengan konsep jihad yang merupakan bagian dari ajaran Islam.

Sebagai penganut agama Islam penulis merasa keberatan jika gerakan dan tindakan kekerasan agama dikaitkan dengan ajaran Islam. Bagi penulis, Islam adalah agama cinta yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Setiap rangkaian ibadah yang diajarkan dalam Islam selalu memiliki nilai kemanusiaan universal, salah satunya seperti ajaran tentang zakat yang bertujuan agar umat Islam memiliki kepedulian kepada sesama. Karenanya menjadi keliru ketika tindakan teror atau kekerasan atas nama agama yang mengkerdilkan nilai-nilai kemanusiaan universal dinisbatkan kepada Islam.  

Melalui perenungan mendalam penulis memiliki kecurigaan jika tindakan teror yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam (oknum) berasal dari pola pembelajaran pendidikan Islam. Jika diamati pendidikan Islam yang diberikan selama ini di lembaga pendidikan formal, sekolah-sekolah dengan berbagai tingkatannya, sebagian besar hanya bertumpu pada pengetahuan yang bermuara pada bentuk keshalehan individual, namun miskin dalam mengarahkan peserta didik untuk membentuk keshalehan sosial.

Pembelajaran yang diberikan pun sekedar hafalan-hafalan ayat-ayat tertentu, tetapi tidak masuk pada bagaimana cara memahami dan mengaktulisasikan ayat-ayat yang dihafal. Parahnya lagi guru yang mengajarkan justru tidak memiliki kepiawaian dalam memahami ajaran Islam. Di lain pihak pembelajaran pendidikan Islam pun diberikan secara terbatas. Di sekolah alokasi waktu pembelajarannya tidak lebih dari dua sampai empat jam dalam seminggu. Padahal, muara pembelajaran pendidikan Islam adalah pembentukan moralitas luhur peserta didik. Sulit untuk dipahami dengan akal sehat jika pembelajaran yang bertujuan membentuk moralitas luhur hanya diberikan dengan waktu yang sangat terbatas.

Secercah harapan sejatinya terdapat dalam model pendidikan Islam di wilayah pesantren. Dalam dunia pesantren para santri selama 24 jam dituntut untuk mempraktekkan nilai-nilai keislaman yang muaranya adalah pembentukan moral. Kondisi ini yang menyebabkan kebanyakan alumni pesantren lebih memiliki keterbukaan dalam memahami agama daripada mereka yang belajar agama pada sekolah-sekolah umum. Yang menjadi penyebab utama para alumni pesantren dapat berlaku demikian disebabkan dalam mempelajari Islam mereka diajarkan oleh para guru (ustadz) yang kompeten dibidang tersebut.

Salah satu jalan keluar yang coba penulis tawarkan dalam pembelajaran pendidikan Islam yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan di luar pesantren adalah penanaman konsep pluralisme agama dalam pembelajarannya. Konsep ini sangat mengapresiasi perbedaan dalam keyakinan dan memberikan tempat kepada setiap penganut agama untuk melakukan dialog dan kerjasama dalam wilayah kemanusiaan, tanpa harus meninggalkan keyakinan agama yang dimiliki oleh masing-masing para penganutnya. Dalam ajaran Islam pun, setiap pemeluknya dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tanpa melihat latar belakang agama yang dimiliki oleh setiap orang.

Meskipun konsep pluralisme agama ramah dengan nuansa nilai-nilai kemanusiaan, namun keberadaannya masih memunculkan pro dan kontra. Dalam dunia akademisi atau dunia pengetahuan pro dan kontra perihal konsep keilmuan merupakan sesuatu yang bersifat biasa. Bahkan setiap ide, konsep ataupun teori yang dicetuskan oleh para penemunya pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Umumnya mereka yang kontra dengan konsep yang tidak disetujuinya akan “melawan” dengan mengeluarkan ide, gagasan dan konsep baru yang ditemukan dan dibuat sendiri. Namun hanya sedikit orang yang mampu “melawan” konsep yang tidak disetujuinya dengan konsep lain yang berbeda, yaitu para cendikia. Dengan demikian pro dan kontra dalam sebuah konsep pemikiran merupakan hal yang wajar terjadi dikalangan para cendikia. Justru dialektika dalam sebuah konsep sangat diperlukan sebagai penambah khazanah dalam dunia pemikiran, tak terkecuali dalam dunia pemikiran pendidikan Islam.

Dalam konteks ini penulis ingin menegaskan bahwa konsep pluralisme agama dalam pendidikan Islam bukan merupakan sesuatu yang bersifat final. Artinya setiap pembaca dapat memberikan masukan, kritik bahkan bantahan terhadap karya yang disajikan ini. Tetapi alangkah baik jika semua itu diberikan dalam ruang dan koridor pengetahuan. Ketika ada pembaca yang tidak setuju dengan konsep yang disajikan, maka penulis memberikan keleluasaan untuk memberikan kritik dengan konsep yang berbeda. Sehingga khazanah pengetahuan dalam dunia ilmu, khususnya pendidikan Islam, dapat terus berkembang. Atas setiap saran dan masukan konstruktif penulis ucapan terima kasih.

 

** Tulisan ini merupakan pengantar dari judul buku Pluralisme Agama dalam Pendidikan Islam yang ditulis oleh Achmad Saeful, M.A, Dosen STAI Binamadani Tangerang.

 

Admin : Ty

Written by 

STAI Binamadani merupakan Perwujudan dari cita cita pendiri untuk memperjuangkan kesejahteraan kehidupan umat melalui perguruan tinggi yang dengan sengaja mentransfer ilmu ilmu agama, sosial, humaniora, dan eksakta.