Kontestasi Politik adalah hal umrah dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, tak terkecuali Indonesia. Negara dengan basis wilayah Kepulauan ini yang kemudian baru saja melangsungkan sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang digadang – gadang pula sebagai Pesta Demokrasi. Pemilu sendiri menuntut masyarakat untuk Memilih Calon dari Pemimpin Bangsa baik di Tingkat Eksekutif (Presiden – Wakil Presiden), juga Legislatif (DPR dan DPD) yang diselenggarakan melalui Pemungutan Suara yang tersebar di seluruh penjuru Negeri. Intrik ataupun Gesekan Pandangan tentu merupakan hal lumrah dalam sebuah negara demokrasi dalam menyikapi kontestasi pemilu ini.
Indonesia sendiri sudah kerap melakukan beberapa kali pemilu, Dilansir dari laman Liputan6.com setidaknya Pemilu di Indonesia dimulai sejak 1955, 1971, 1977- 1997, 1999, 2014, dan 2019. Tentu, Potret Pemilu di Indonesia dapat menghirup udara yang cukup lega pasca Tumbangnya Kekuasaan Order Baru dengan di mulainya era Reformasi. Namun sejatinnya, Negeri Pertiwi ini sudah kerap melalui beberapa Pemilihan Umum dengan berbagai Peristiwa yang ada serta penyikapan yang baik atas tiap peristiwa yang ada didepan mata.
Endang Ekowati dalam Jurnalnya Kontribusi Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pemilu Damai menyebutkan bahwa Persoalan Pemilu sendiri meliputi berbagai bentuk yang dapat secara nyata merugikan. Masalah – masalah ini tentu dapat mengakibatkan Konflik berkepanjangan ataupun Kerusuhan jika tidak dapat ditangani dengan baik ataupun disikapi dengan baik oleh seluruh masyarakat dalam negeri. Penyikapan ini sendiri menurutnya dapat ditangani dengan unsur Kearifan local yang telah lama tertanam dalam tiap Pribadi Masyarakat Indonesia.
Theater Demokrasi yang berlangsung hanya dalam kurun waktu 5 tahun sekali ini tentu harus diingat serta di tekankan dalam tiap Pribadi. Pengendalian diri yang dilakukan dengan Afirmasi ataupun Penyikapan baik atas apapun hasil dari Pemilu ini merupakan tanggung jawab Bersama. Terlepas dengan adanya Pro Kontra terkait Gugatan atau hal apapun kedepan selama masih dalam Batasan Kontsitusi dan Tata Aturan Kenegaraan tentu hal ini perlu di sikapi dengan ketenangan dan selalu menjaga kerukunan antar masyarakat.
Berbagai macam Himbauan terkait Kepemiluan Baik sebelum ataupun sesudah terlaksananya Kepemiluan juga telah di gaungkan. Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yakni Prof. Jimmly Asshiddiqie menuturkan bahwa Masyarakat tidak perlu menggunakan Narasi – narasi yang berujung pada resonansi negative yang akan berpengaruh pada persatuan kenegaraan. “Tidak perlu ada nada – nada menyalahkan, berusaha memberikan penilaaian negative yang bersifat konklusif, apalagi dengan keyakinann yang kuat bahwa negara demokrasi kita akan runtuh, dan hasil pemilu dan pilpres akan ditolak oleh rakyat yang akan bergerak, sehingga akan terjadi krisis dan situasi chaos yang memecah bangsa” ujarnya seperti dilansir dalam lama Republika (8/2/2024). Narasi – narasi Positif harus Kembali di kuatkan serta Optimisme Keberlangsungan arah Negeri harus dikuatkan agar tidak terjadi Chaos pasca bergulirnya Kontestasi Politik.
Dalam Sudut pandang akademisi, tentu kita harus mencermati berbagai Polarisasi yang telah ada dan nyata pasca terlaksananya Pemilu. Polarisasi yang telah terjadi sebagai Rangkaian dalam Proses Pemilu ini tentu harus di sikapi dengan baik. Penekanan Asas Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi Semboyan dalam Negeri harus Kembali di gaungkan agar terhentinya Polarisasi akibat dampak dari Kontestasi Pemilu. Sebagai bangsa yang menjunjung Tinggi Etika serta Persatuan, tentu hal ini merupakan hal Mudah yang dapat dilakukan jika semua elemen baik di tingkat Pusat Pemerintahan ataupun Grassroot masyarakat dapat selaras untuk Kembali saling merangkul dan memandang perbedaan pendapat dengan konteks yang positif.