Akhir akhir ini, kita kerap kali melihat dalamm lingkup media massa tentang maraknya Kasus Pelecehan Seksual yang banyak menyasar Perempuan. Praktik ini bahkan acap kali terjadi di banyak institusi, terlebih sempat terjadi di Institusi Pendidikan Tinggi bahkan dalam Lingkup Pendidikan “Pesantren” yang terkenal kental dengan nuansa teologi agama. Kejadian memilukan ini kemudian menimbulkan banyak kritik atas pengawasan moralitas yang ada dalam lingkup Lembaga Pendidikan. Kritik yang kemudian Secara formil di layangkan oleh banyak pihak. Pihak pihak yang kemudian paling melekat dalam prosesi kritik ini ialah pihak yang memiliki latar belakang Feminisme. (26/10/2023).
Kritik yang giat dilangsungkan oleh aktivis feminis ini bukanlah tanpa dasar, menurut data statistik yang diperoleh dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) telah terjadi setidaknya 21.825 Kasus Pelecehan Seksual yang terjadi pertanggal 1 Januari 2023, dan sekitar 19.302 orang Perempuan menjadi korbannya. Tingginya kasus ini diikuti dengan Gelombang Kritik yang di lontarkan beberapa waktu lalu kemudian membuahkan hasil dan angin segar bagi Institusi Pendidikan. Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kemudian menerbitkan Permendikbud-ristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) terlepas banyak Pro-Kontra didalamnya.
Feminisme sendiri secara garis besar berisi paham pemberlakuan Keadilan untuk kaum perempuan. Dalam Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma, dan Standar Validitas Tafsir Feminis karya Eni Zulaiha dijelaskan bahwa Paradigma utama dari Pemikiran ini ialah mengusung isu – isu gender berkaitan dengan nasib perempuan yang belum mendapatkan perlakukan secara adil di berbagai sektor kehidupan, baik di sektor domestik, politik, sosial, pendidikan maupun ekonomi.
Jika kita tarik lebih jauh, kejadian yang menjadi landasan paradigma Feminis ini sendiri terjadi jauh di Eropa ketika Teologi ke Kristenan yang di identifikasikan sebagai pihak Gereja menanamkan berbagai macam doktrin untuk menekan status perempuan. Merujuk pada buku Sejarah Dunia Abad Pertengahan karya Alfi Arifian juga turut disebutkan bahwa Pada abad – 17 tepatnya periode Pra Renaisans, Masyarakat Eropa memandang Wanita sebagai jelmaan Setan ataupun alat setan untuk menggoda manusia. Pemikiran ini didasari dengan Kejadian Historical Teologi yang ada pada Al Kitab mengenai Kisah Eva yang di goda setan untuk menjerumuskan Adam. Konsepsi tentang rendahnya derajat Perempuan ini bahkan di perkuat oleh Penulis Jerman abad – 17 yakni Philip J. Adler yang menyebut “Adalah fakta bahwa wanita itu lemah dalam hal keimanan kepada tuhan.”
Seiring berjalannya jaman, ketika terjadi Reformasi dalam segala sektor di Eropa. Paradigma ini mulai terkikis, meski masih terjadi beberapa pelanggaran terhadap nilai nilai Kesetaraan yang di gaungkan dalam Renaisan itu. Munculah kemudian Pemikiran Feminisme dengan Emansipasi sebagai salah satu reaksi terhadap pandangan dan praktek subordinasi terhadap perempuan.
Dalam konsepsi Islam, Perempuan sendiri memiliki posisi khusus. Dalam Journal of Islamic Studies and Humanities dengan Judul Wanita dalam Islamm karya Lulu Mubarokah, disebutkan bahwa Wanita pada Hakikatnya memiliki kedudukan yang tinggi dalam teologi Islam. Dimana bahkan Kehormatan mereka sangat dijaga bahkan dari segala aspek. Jika mengacu pada konsep kesetaraan hak yang berasal dari Paradigma Feminis, tentu hal ini sudah melampaui dari Konsep setara karena memiliki derajat yang lebih mulia. Secara Implisit sendiri bahkan Allah menyebutkan “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula” (QS. Al Ahqaaf:15). Dalam Hadist Riwayat Ibnu Asakir pula disebutkan “Tidaklah memuliakan wanita kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan wanita kecuali orang yang hina”.
Konsen Islam yang tidak hanya sekedar Menyetarakan namun bahkan memuliakan ini tentu memiliki konsepsi yang lebih dibandingkan Feminis yang hanya pada batasan Kesetaraan Derajat dengan laki laki. Namun, Perbedaan ini yang menjadi garis samar pemisah antara Konsepsi Feminisme dengan Islam. Dalam Journal of Social Science Research dengan judul Analisis Pemikiran Feminisme dala Pandangan Islam Karya Nadya aulia disebutkan “Pandangan islam memiliki prinsip prinsip dan ajaran yang berbeda dengan pemikiran feminisme”. Adapun sudut pandang keperbedaan ini disinyalir ada dalam kaidah “Porsi”. Paham Feminisme terbentur dengan Porsi kesetaraan yang kemudian menjadi Rancu saat dihadapkan dengan Hukum Islam yang mengatur tentang terjaganya perempuan dalam perspektif Islam. Lagi – lagi hal ini mengacu pada sesuatu yang bersifat Individualistik Material dengan ketentuan Syariat biasanya, baik dalam hal cara berpakaian ataupun Isu Seksi yang kerap berbenturan dengan Islam yakni “Poligami”. Dalam jurnalnya, Nadya melanjutkan bahwa ” Padahal dalam islam sangatlah jelas Allah menciptakan laki – laki dan perempuan dengan porsinya masing – masing, tidak harus setara dalam segala hal dimana keduanya di ciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain”.
Dari dua sudut pandang ini, kita mampu menelisik bahwa Feminisme sendiri memiliki maksut baik guna mengangkat derajat Perempuan dengan jalan pintas “Kesetaraan” yang sama dengan laki – laki, sementara Islam sendiri memiliki paradigma ditingkat atas dari Feminisme yang mana Islam Memiliki jalan dengan cara “Memuliakan” dan buka hanya “Menyetarakan” karena konsep setara sendiri memiliki sudut pandang luas dan justru akan mendeskreditkan Perempuan dalam lingkaran yang seharusnya tidak ia masuki. Keduanya berjalan beriringan secara fundametal, namun memiliki beberapa Paradoks jika korelasikan secara awam.