Manusia sebagai Mahkluk Sosial yang bahkan disebut pula sebagai “Zoon Politicon” oleh seorang Filsuf terkemuka Aristoteles yang mengidentifikasi bahwa manusia merupakan mahluk yang kerap dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Interaksi ini mencakup segala aspek mulai dari bangun hingga Kembali tertidur, dan meliputi berbagai aktifitas dan tidak mengenal Batasan usia. Semakin bertumbuh usia, sosialisasi yang dilakukan tiap individu akan mengalami peningkatan dari berbagai aspek mengikuti arus perkebangan zaman yang berlangsung. Hal ini yang kemudian patut di khawatirkan. (2/11/2023).
Beberapa waktu terakhir, lagi dan lagi kita melihat banyak sekali peristiwa “Amoral” yang terjadi, terlebih dalam lingkungan sekolah. Peristiwa “Bullying” ini menjadi peristiwa yang memilukan karena terjadi di Lingkungan sekolah dimana ini Merupakan Institusi “Moral” yang tidak hanya mengajarkan Berkenaan dengan Pendidikan Formal namun juga terkait Pendidikan Moral dan Etika. Sebut saja peristiwa yang terjadi di Salah satu Sekolah Dasar Negeri didaerah Tambun Selatan, Bekasi. Seorang Siswa mengalami perundungan oleh segerombol siswa lain hingga menyebabkan Kakinya diamputasi. Lalu, Peristiwa Seorang Siswi Sekolah dasar yang mengalami Kebutaan karena matanya di tusuk oleh kakak kelasnya, Kasus Pelajar Sekolah Menengah Pertama yang loncat dari lantai 3 sekolahnya yang ada di Kota Bogor, dan rentetan kasus lainnya yang mewarnai kisah pilu yang terjadi di lingkungan Lembaga Pendidikan.
Dalam Jurnal yang berjudul “Bullying Di Sekolah : Kurangnya Empati Pelaku Bullying dan Pencegahan” karya Bety Agustina Rahayu disebutkan bahwa Kasus Perundungan yang terjadi pada rentang Usia 3 sampai 12 Tahun kurang mendapatkan Perhatian serius terlebih oleh lingkungan sekitar. Padahal, dalam rentang usia ini anak sedang mengalami masa pertumbuhan yang signifikan, baik dari pola perilaku ataupun pola piker yang kemudian menjadi landasan atau acuan ia untuk melangkah pada rentang usia berikutnya. “Bullying telah di akui sebagai pemicu dari masalah Kesehatan bagi anak sekolah terutama pada jenjang sekolah dasar.” Tegasnya. Sikap perundungan ini juga dapat menimbulkan potensi untuk ditiru Kembali oleh Korban perundungan ataupun anak anak yang melihatnya. Ia juga menambahkann perundungan yang dilakukan secara terus menerus atau paling sedikit 6 bulan akan menunjukan ciri dari Conduct Disordes. Ini merupakan gangguan emosi dan perilaku yang menyebabkan anak berkelakuan agresif, tidak mau mengikuti aturan, dan kasar.
Konsen Perundungan sendiri telah mendapat tanggapan serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI Kawiyan menilai rentetan kasus ini terjadi salah satunya akibat modernisasi yang ada diiringi dengan kurangnya pengawasan lingkungan sekitar. “Jumlah Kasus Cyberbullying (juga) terus meningkat seiring dengan banyaknya anak anak yang tersambung dengan internet dan menggunakan alat komunikasi” tegasnya seperti dilansir dalam okezone (1/10/2023). KPAI juga menekankan peristiwa perundungan ini akan sangat mengganggu baik secara psikologis maupun secara fisik. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat setidaknya sejak Januari hingga September 2023 terdapat sekitar 23 Kasus Jumlah perundungan terverifikasi yang terjadi di satuan Pendidikan. Jumlah yang tidak sedikit ini kemudian memunculkan pertanyaan terkait Bagaimana Peran Lingkungan dalam menanggulangi hal ini, terlebih banyak kasus yang terjadi justru berada dalam lingkup mereka.
Peran Institusi Pendidikan dalam hal ini cukup penting, terutama lingkungan Sekolah Dasar yang bertugas tidak hanya memberikan Pengetahuan Formal namun Pengetahuan terkait nilai nilai moral dan etika. Guru memiliki peran vital dalam lingkungan Pendidikan karena ia akan menjadi role model yang karakteristik serta perilakunya dapat dengan mudah di tiru oleh siswa. Peran pembinaan moral atau psikis siswa tidak hanya merajuk pada Guru Konseling saja, namun kepada seluruh tenaga ajar atau bahkan segenap masyarakat yang ada di lingkungan sekolah itu sendiri. Akan menjadi kesalahan fatal jika guru tidak menekankan tentang nilai moral dan hanya mengacu pada profesionalitas “Mata Pelajaran” yang ia ajar. Penting sebagai Guru untuk memperhatikan tiap perkembangan dari siswa yang ia didik dan bina. Lebih jauh lagi, seorang yang menjadi tenaga ajar haruslah memiliki “Ruh” keguruan, yang memiliki idealistik kuat mengenai Pendidikan dalam segala aspek yang tidak hanya mengacu pada Pendidikan Formal dan Verbal saja.
Tenaga pendidik atau seorang guru harus mempersiapkan dirinya untuk mampu menjadi role model bagi para siswa yang ia ajar. Ia juga harus memiliki strategi untuk masuk secara langsung ke ranah penekanan moralitas siswa karena dari sinilah semua bermula. Ramadhanti dalam Jurnalnya yang berjudul “Strategi Guru dalam mengatasi perilaku Bullying Siswa di Sekolah Dasar” menjabarkan Peranan Guru untuk melakukan intervensi terhadap siswa sangatlah besar. Guru diperlukan memiliki strategi Intervensi antar siswa agar tidak terjadi perundungan. Pendekatan yang mengacu pada konsep Budi Pekerti ini juga sangat diperlukan untuk menekan sikap sikap “Amoral” yang kemungkinan akan terjadi di kemudian hari serta menciptakan Generasi Mendatang yang memiliki Budi Pekerti yang Baik, Moralitas yang di junjung tinggi, serta Etika yang kuat dalam hidup bermasyarakat.