Dalam masyarakat Multikultural seperti di Indonesia, Perbedaan kepercayaan agama tentu terkadang menjadi isu sensitif utamanya dalam konteks pernikahan. Isu sensitif ini sebenarnya bukan berkaitan tentang ditabrakannya hukum antar kepercayaan teologis, namun terkadang menjadi Polemik ketika ditabrakan kepada paham yang menggagas Hak dan Kebebasan Secara umum dan Memandang agama terkadang menjadi Sekat dan sebuah Kebebasan Sejati. Isu sensitif ini kerap kali ditabrakan dalam konsen Pernikahan yang sejatinya merupakan hal sakral karena bersifat mengikat antar dua manusia utamanya dalam Islam itu sendiri (21/11/2023).
Konsepsi Pernikahan Lintas agama ini biasanya mengambil celah dalam Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melanggengkan Pemikirannya dan kerap bertabrakan dengan Konsepsi Keagamaan atau dalam hal ini Islam. Susilo Surrahman dalam Jurnalnya berjudul “Pernikahan beda agama itu boleh ?” menyebutkan Kelompok yang mengedepankan sudut pandang Antroposentris berpendapat bahwa pernikahan adalah ranah privat Individu dan bukan ranah agama, sementara Kelompok dengan sudut pandang Teosentris mengatakan bahwa Pernikahan merupakan bentuk pemeliharaan dan ketaatan pada agama, tidak serta merta hanya urusan manusia saja. Golongan Teosentris ini didasari dengan Apa yang mereka Yakini sebagai Umat beragama, ditambah Indonesia merupakan Negara yang mana keberadaan masyarakatnya terkenal dengan Hegemoni Beragama.
Pandangan Pernikahan Lintas (Beda) agama khususnya di Indonesia kerap kali menjadi Perdebatan hingga seakan mencari celah sempit dalam dalil ataupun pandangan.untuk melegalkan praktik ini. KH. Zaimuddin MZ dalam Sebuah disoursenya pernah menyebutkan bahwa Orang yang menikah berbeda agama diibaratkann seperti keluarga pecel atau gado – gado, dimana semua nilai didalam keluarga tersebut akan bercampur aduk. Islam sendiri memiliki pandangan terukur mengenai Pernikahan, karena ini bukan hanya sekedar kesepakatan antara dua manusia yang saling Bersatu, namun ada keberadaan Ilahiah dalam Prosesi ini, ini yang kemudian dijelaskan dalam Q.S An – Nur ayat 32 “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”.
Abdul Jalil dalam Jurnalnya Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia menyebutkan Penegasan al Quran surat Al Baqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam dalam katagori musyrik/musyrikah. Ia dalam Jurnal diklat teknisnya ini terlebih menegaskan Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama. Karena itu, Kantor Urusan Agama maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan administratif atas peristiwa nikah beda agama. UU Nomor 1 Tahun 1974 ini menyatakan secara tegas bahwa “Perwakinan sah adalah apabila dilakukan menurut agamanya masing – masing dan kepercayaan itu’. Keberadaan Undang – undang ini kemudian Menyelaraskan Pandangan Agama dalam hal mengatur Pernikahan Pemeluknya secara Implisit dan membantah tudingan dengan landasan Hak Asasi Manusia.
Celah yang kemudian dijadikan delik landasan dari Problematika ini ada pada Q.S Al Maidah ayat 5 yang menyebutkan bahwa “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan yang beriman dan perempuanperempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”. Ruang ini dijadikan sebagai landasan Pelintass Pernikahan antar agama untuk dapat eksis sehingga menganggap Agama Islam pun selaras dengan ide yang mereka usung. Menyoal hal ini, Widya Cahya dalam Bukunya yang berjudul Al Qur’an dan Tafsirnya menyebutkan bahwa Asbab al-Nuzul dari penurunan ayat ini disebabkann oleh Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhallil yang bertanya kepada Rasulullah “Ya Rasulullah, kami ini orang yang suka berburu dengan anjing dan kadang kadang anjing dapat menangkap sapi, keledai dan biri-biri. Sebagian ada yang bisa kami sembelih dan sebagian lagi langsung mati tidak sempat disembelih, sedangkan Allah telah mengharamkan makan bangkai, mana lagi yang dihalalkan untuk kami?” Kemudian turunlah ayat in.
Pernikahan lintas agama lebih jauh lagi akan memberi polemic yang baru terhadap keutuhan rumah tangga, ini karena tentu tiap agama memiliki tradisi atau aturan hukumnya masing masing. Desi Anggraeni dalam Jurnalnya Pernikahan Beda Agama Perspektif Al Qur’an (Analisis Pemikiran Buya Hamka dalam Tafsir Al – Azhar) juga menyebutkan Polemik yang akan terjadi tentu mengacu pada Hukum Keluarga Islam yaitu tentang wali nikah, waris, wasiat, hadhlanah, serta saksi perwakinan beda agama. Terlebih mengenai Pembagian harta Bersama saat terjadi perceraian karena dalam UU yang mengatur tentang perkawinan pun pernikahan lintas agama menjadi sesuatu hal yang tidak dikenali. Dalam Jurnalnya ia juga menyebutkan Buya Hamka sebagai salah satu Ulama besar sekaligus Mufassir Indonesia telah menafsirkan Surat Al – Baqarah ayat 221 dan menyebutkan bahwa apabila Islam telah menjadi keyakinan hidup, hendaklah hati-hati memilih jodoh. Sebab, isteri adalah teman hidup dan akan menegakkan rumah tangga bahagia yang penuh dengan iman dan menurunkan anakanak yang shalih. Sebab, laki-laki yang beriman kalau mengawini perempuan musyikat beriman akan terjadi hubungan yang kacau dalam rumah tangga. Apalagi kalau sudah beranak, lebih baik katakan terus terang bahwa kamu hanya suka kawin dengan dia kalau dia sudah masuk islam terlebih dahulu.
Pelaksanaan Pernikahan beda agama pada akhirnya akan membuat Pilihan terhadap manusia akan Kepatuhan pada Cinta atau Kepatuhan pada Konsepsi Kecintaan sejati ataupun Kepatuhan pada Ilahi’ah. Karena hal ini nantinya akan mengakibatkan Sulitnya dalam Melaksanakan Hifz al-din (Pemeliharaan agama) karena tidak lain Pernikahan tersebut dalam Islam merupakan Hal yang dianjurkan dan memiliki Hukum serta aturan yang mengaturnya, terlebih Sang Khalik sendiri yang mengatur tentang Penyatuan serta Penyelarasan antara dua Insan ini.