Kontestasi dalam Pesta Demokrasi yang tengah dilalui beberapa waktu lalu nyatanya masih hangat dalam perbincangan. Tensi ketegangan cukup terasa dengan berbagai diorama dan juga intrik yang mewarnai selama proses Pemilihan Umum 2024. Mulai dari Klaim Kemenangan, Klaim Kecurangan Hingga bentuk ketidakpuasan atas penyelenggaraan Pemilu yang dinilai tidak Fair. Berbagai Gugatan kemudian dilayangkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk kekecewaan serta adanya berbagai indikasi di lapangan terkait kecurangan di lapangan.
Dilansir dalam laman mkri.id, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan bahwa Mengadili Perkara sengketa pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif merupakan bagian dari Kewenangan MK. Menurutnya hal ini dapat dilihat ketika MK memeriksa Sengketa Pemilu Presiden pada 2004 yang di layangkan oleh pasangan Woranto dan Salahuddin Wahid. “Oleh karena itu, MK memberikan kesempatan yang seluas – luasnya bagi seluruh masyarakat untuk memanfaatkan secara optimal keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan.” Ujarnya dalamm Kuliah umum yang digelar di Universitas PGRI Palembang (03/03/2023).
Jika kita telisik kebelakang, Berbagai gugatan terkait hasil dari Penyelenggaraan Pemilu baik di tingkat Eksekutif ataupun Legislatif telah rutin dilakukan sejak Pemilu 2004. Seperti dilanir dalam laman nasional.tempo.co setidaknya Mayoritas dari amar putusan yang diekluarkan serta dibacakan oleh MK mendapati hasil penolakan atau bahkan Menolak permohonan gugatan karena dinilai minim dari bukti. Contohnya, Pada Pilpres 2004, Pasangan Wiranto – Salahuddin melakukat Gugatan kepada MK dengan alasan mereka kehilangan 5,43 Juta suara, namun MK menolak gugatan itu karena dinilai pemohon gagal membuktikan kesalahan hasil hitung suara. Lalu pada Pilpres 2009, muncul gugatan yang di layangkan oleh Pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla – Wiranto, dimana Amar putusan yang dibacakan MK juga turut menolak permohonan untuk seluruhnya Hasil serupa juga terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 dimana seluruh Putusan dari MK menolak Gugatan dari Tim hukum penggugat.
Berbagai Praktisi kemudian menyoroti gugatan ini secara pesimis ditinjau dari Berbagai Gugatan yang hampir di tolak dari tahun ketahun hingga intrik internal yang bahkan memvonis Pelanggaran Berat Kode Etik kepada Mantan Ketua MK yakni Anwar Usman. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengaku ia masih memiliki Kepercayaan kepada Lembaga Konstitusi meskipun terdapat keraguan. Ia menilai MK harus memiliki Trustmen yang membuat masyarakat percaya tentang eksistensi dari MK itu sendiri. “Karena bagi MK, mustahil eksistensi sebuah Lembaga peradilan tanpa Public Trust (kepercayaan public)” Ujarnya seperti dilansir dalam laman bbc.com (21/03/2024). Meskipun Anwar Usman secara tegas tidak akan dilibatkan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) namun hal riskannya kemungkinan terjadi utamanya setelah Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul mengalami purnabakti dan digantikan oleh Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. “Ada dua hakim baru yang (…) bisa mengubah konstelasi di dalam 8 Hakim itu. Namanya sebuah konstelasi politik, kalua ada orang baru pasti akan berubah konfigurasi politik.” Ujarnya.
Disisi yang sama. Pakar Hukum Pemilu Mohammad Syaiful Aris juga menyampaikan pandangannya terkait Mahkamah Konsititusi. Ia menyebutkan bahwa MK harus mampu menjaga keseimbangan dalam dua aspek. “MK Harus seimbang dalam aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek Kuantitatif berkaitan dengan aspek kepastian hukum, yaitu dari perhitungan perolehan suara. Sedangkan, keseimbangan dalam aspek kualitatif artinya MK harus melihat apakah para pihak dapat membuktikan. Ujarnya dilansir dalam laman unair.ac.id. Selebihnya ia juga menyampaikan bahwa Fakta yang memepengaruhi kualitas dari proses ini kemudian harus dapat dijadikan dalil atas proses yang tidak fair karena tentu hakim MK bersifat pasif.
Berbagai Intrik yang dihadapi dalam proses Pemilu 2024 ini tentu memiliki proporsional yang berbeda dibanding tahun – tahun sebelumnya. Problematika yang biasanya hanya berputar pada Peserta Pemilu atau dalam Tatanan Penyelenggara ini bahkan sudah masuk kedalam Lembaga Yuridis yakni MK terkait Kasus yang melibatkan Anwar Usman selaku mantan Ketua MK dan terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik Keras. Ditambah terdapat sejumlah penngganti dari para Haki yang sudah mengalami Purna diantaranya ialah sosok Asrul Sani yang jika kita ketahui ia pernah meduduki kursi legislatif dan berada pada poros pimpinan tertinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat ini tidak mendapati Kursi di Senayan.
Dari berbagai Polemik diatas, tentu public sudah dapat menakar terkait eksistensi dari Berbagai gugatan yang dilayangkan pada Mahkamah Konstitusi. Pandangan Pesimistis acap kali masih mewarnai Opini public jika masalah hal ini Kembali diolah oleh Mahkamah Konstitusi yang sedang berusaha menaikan citranya Kembali pasca terpuruk dalam zona yang cukup dalam. Namun, alih alih fokus menaikan citra justru MK mulai Kembali memberikan kekhawatirannya karena adanya beberapa anggota yang disinyalir akan memiliki konflik kepentingan didalamnya.