Momentum Hari Guru, Suka Cita Honorer Pendidikan

Guru satu kata yang mewakili segenap harapan dari berbagai retorika tentang pemandu Ilmu pengetahuan yang dihantarkan kepada setiap masyarakat yang ada di seluruh belahan dunia. Sosok yang kita kenal sebagai Role model ataupun panutan karena tingginya derajat moralitas yang melekat pada Insan Tenaga Pendidik yang dalam hal ini adalah guru. Darinya kita mengenal berbagai Ilmu pengetahuan dasar, memandu untuk memantik daya nalar dasar, mengenal moralitas antar sesame manusia, serta Ethic of Wishdom secara fundamental tentang Identitas diri kita baik secara Individu maupun secara Rasial suku bangsa serta Pemahaman nilai serta sikap Patriotisme terhadap Tanah Air.

Jika kita berbicara mengenai Momentum Hari Guru Nasional yang kerap di peringati tiap tanggal 25 November. Kita tentu akan bersuka ria tentang romansa kegembiraan yang dirayakan oleh Segenap Guru Tanah air yang mana ini merupakan sebuah Ceremonial Pengakuan atas Kehadiran mereka secara utuh. Berbagai Perayaan di rayakan di setiap Institusi Pendidikan Baik Tingkat Taman Kanak – kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Hingga Sekolah Menengah Atas. Segala Suka Cita seakan ditumpahkan dalam satu hari Perayaan yang digelar di Tiap tiap Institusi ini. Namun, apa benar Kegembiraan ini merupakan sebuah Kegembiraan yang dapat di nikmati secara penuh dan utuh ? atau hanya segelintir saja yang dapat menikmati Kegembiraan ini ? atau secara mengakar dapat kita pertegaskan Kembali apakah hanya Harapan Kebahagiaan di masa mendatang momentum ini dibuat ?

Berbicara tentang guru tentu kita akan berbicara mengenai sistem Pendidikan tentang Pelaksanaan Pendidikan. Dimana pada Pelaksanaannya, Guru sendiri secara Formal terbagi atas Pengakuan Honorer, Tetap, ataupun Guru yang sudah masuk dalam Jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui Aturan perundang undangan yang berlaku. Dilansir dari laman databoks, Kementrian Pedidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaporkan setidaknya pada tahun 2022 terdapat 1.520.354 orang atau sekitar 52% dari total Keseluruhan Guru yang ada di Indonesia Berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Artinya Masih terdapat sekitar 48% guru yang bukan merupakan seorang PNS. Guru Honorer sendiri mendapati system peng-gajian berdasarkan ketentuan Pihak Sekolah secara mandiri. Baik Institusi yang berstatus Swasta ataupun Negeri, dimana nominalnya pun tidak dapat disamakan dan kebanyakan hanya berhitung pada Absensi serta Jam yang diampunya selama mata Pelajaran.

Pemerintah sendiri sebelumnya telah mencoba memperhatikan kesejahteraan para tenaga pendidik dengan meluncurkan Undang – Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 yang mengatur tentang Guru dan Dosen dimana didalamnya disebutkan mengenai sertifikasi untuk Guru dan Dosen. Dalam Pasal 16 setidaknya disebutkan mengenai Tunjangan Profesi yang diberikan oleh Pemerintah dengan besaran yang setidaknya sesuai dengan Gaji Pokok yang bersangkutan dengan memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penerbitan UU ini di ungkapnya demi mensejahterakan para Guru Honorer atas Jasa serta Kotribusinnya terhadap Pelaksana Pendidikan.

Fakta lapangan mengenai kesejahteraan para Guru khususnya Honorer yang memiliki angka yang cukup besar ini diwarnai dengan kisah pilu. Secara terbuka kita dapat melihat bahwa besaran Gaji Honorer tidak sebanding dengan Kontribusi yang akan mereka berikan atau telah mereka berikan kepada Generasi Bangsa. Dilansir dari laman detik.com, bahkan di DKI Jakarta sendiri masih ada guru honorer yang menerima besaran upah sebesar Rp. 300 Ribu perbulan. “Kenapa masih ada guru yang gajinya Rp. 300 Ribu per bulan ? Perlu ada Standarisasi dari Disdik DKI Jakarta terkait Upah bagi guru – guru honorer di setiap sekolah.” Tegas Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Jhonny dalam laman detik.com (27/11/2023). Fakta memilukan ini bahkan terjadi pada Daerah Metropolitan yang merupakan Sentral dari Ibu Kota sendiri, lantas bagaimana kondisi Para guru honorer yang ada di tiap daerah ? Di Nusa Tenggara Timur (NTT) Guru Honorer disebut bahwa mereka hanya mendapatan gaji pada Besaran Rp. 200 Ribu – 750 Ribu perbulannya. Dilansir dalam laman IDX, disebutkan bahkan gaji tersebut tidak cukup nntuk memenuhi kebutuhan sehari harinya.

Disisi yang sama Fakta Memilukan juga terjadi yang menandakan Prihatinnya Kehidupan dari honorer, beberapa diantara para Guru Honorer dijelaskan terjerat dalam Praktik Pinjaman Online (Pinjol). Riset NoLimit Indonesia dalam laman Radio Republik Indonesia (RRI) sendiri menyebutkan bahwa guru menjadi kalangan yang paling banyak terjerat praktik pinjaman online (Pinjol) Ilegal. Bahkan dari analisis yang dilakukan setelahnya, terdapat 42% Korban Pinjol Ilegal Berprofesi sebagai guru. (25/08/2023).

Stefania Seto dalam Jurnalnya “Pengaruh Pemberian Gaji terhadap Motivasi kerja dan Profesionalisme Guru Honor” menyebutkan bahwa adanya keterkaitan antara Pemberian Gaji terhadap Motivasi dari para Guru yang ada di lapangan. Profisionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Stefano juga Menambahkan Kesejahteraan Guru di Daerah masih dalam kategori Memprihatinkan. Tunjangan Profesi guru yang dikatakan sebagai sarana Mensejahterakan, justru masih sangat jauh dari kata Mensejahterakan karena besaran yang nominalnya terlampau jauh dari kata layak dan bahkan untuk pengajuan serta pencairannya pun terlampau dalam Belenggu Birokrasi yang menyulitkan. Stefania menyebutkan bahwa Pemberian gaji yang cukup tentunya akan memberikan motivasi dalam pengajaran yang diberikan oleh guru.

Dari Analisa akademis, tentu kita dapat melihat bahwa Kondisi Tenaga Pendidikan di Indonesia khususnya guru Honorer masih dalam kategori Memprihatinkan dan Momentum Hari guru ini dapat menjelaskan mengenai Euphoria semu yang dinikmati oleh sejumlah guru Honorer yang masih jauh dari kategori Sejahtera sementara Guru sendiri merupakan tolak ukur utama dari Kemajuan Suatu Bangsa di kemudian hari. Sangat memilukan saat muncul narasi “Jangan mencari kekayaan saat menjadi seorang guru” namun disisi lain Realita mengharuskan Tiap individu untuk bertahan hidup. Narasi narasi semacam ini yang membuat seorang guru harus menerima Rajutan Takdirnya yang menjalin profesi sebagai seorang guru. Bangsa yang besar merupakan Bangsa yang menghargai Jasa Para Pahlawannya setidaknya itu yang disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Sementara disisi lain kita disajikan dengan Narasi Guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa. Yang dapat ditafsirkan dengan Seorang Pahlawan yang kemungkinan besar kurang atau tidak dihargai oleh bangsanya sendiri.

Written by 

STAI Binamadani merupakan Perwujudan dari cita cita pendiri untuk memperjuangkan kesejahteraan kehidupan umat melalui perguruan tinggi yang dengan sengaja mentransfer ilmu ilmu agama, sosial, humaniora, dan eksakta.