Reformasi sebagai sebuah Peristiwa serta fase transisi dalam mengawali sebuah era dalam Siklus Pemerintahan yang ada di Indonesia, tentu memiliki berbagai macam Produk yang dihasilkan. Pengaruh Reformasi terhadap Aturan ketatanegaraan tentu sangatlah kuat, ini bisa dilihat dengan terbitnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur terkait Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah sendiri dibentuk sebagai upaya Desentralisasi atau Penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah otonom untuk mengatur serta mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena, sebelumnya pengaturan urusan Kenegaraan terlalu mengalami sentralistik pusat sehingga kerap terjadi Problematika sementara Indonesia sendiri memiliki Wilayah Kedaulatan yang sangat luas. Dalam Perjalanannya, Upaya untuk menurunkan tingkat Sentralisasi sebenarnya sudah mulai dilakukan pada Era Pemerintahan Orde Lama dengan menurunkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok – pokok Pemerintahan Daerah. Namun Kebijakan ini masih mengacu pada Kebijakan Sentralistis yang berpusat di Jakarta. Setelahnya Presiden Soeharto akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 1966 sebagai upaya mengurangi derajat sentralisasi yang ada pada Pemerintah Pusat sekaligus menetapkan 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah. Barulah Pasca Reformasi, Pemerintah Menerbitkann UU No. 22 Tahun 1999 dan Presiden B.J Habibie berkomitmen untuk memberi wewenang Penuh kepada Pemerintah daerah selain urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Peradilan, dan Urusan Moneter.
Paradigma akan Otonomi Daerah juga tidak luput dari Bias Politik, Desentralisasi yang diharapkan untuk mengurangi tingkat Intervensi langsung oleh Pemerintah Pusat agar terciptanya efektivitas Penyelenggaraan serta Pengambilan Kebijakan untuk Urusan Daerah memiliki beberapa celah karena terdapat pola zigzag antara sentralisasi dan desentralisasi. Wasisto Raharjo dalam Jurnalnya Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia : Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi menyebutkan Kebijakan Desentralisasi Otonomi Daerah yang berlangsung di Indonesia masih setengah Hati. Pada Praktiknya hal ini menghasilkan Gejolak dari tiap – tiap daerah hingga masih dalam akar masalah yang sama terkait ketimpangan perekonomian maupun sosial budaya antara Pusat dan Daerah. Terlebih, minimnya Regulasi yang ada pada Pemerintah Daerah justru menghasilkan Pembajakan Demokrasi Lokal yang di bajak oleh kepentingan segelintir Elite.
Faisal dalam jurnalnya Otonomi Daerah : Masalah dan Penyelesaiannya di Indonesia menyebutkan bahwa salah satu Konsekuensi dari Otonomi Daerah ialah adalah Eksploitasi Pendapatan Daerah. Skenario seperti ini tentunya sudah ada pada pola tradisional dalam meperoleh pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Menurutnya, Pelaksanaan Upaya ini hanyalah sebuah Pilihan Jangka pendek serta akan mendatangkan persoalan baru dalam jangka Panjang. Ia juga menyebutkan bahwa adanya Pergeseran Praktik Korupsi atau dapat dikatakan Peleburan Praktik Korupsi dari Pusat ke daerah. Kasus nyata ini salah satunya dapat kita lihat terkait Angota Legislatif Yogyakarta yang membagi dana Rp. 700 juta utuk 40 anggotanya atau Rp. 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Kasus yang terjadi pada 2016 ini menafikan sisa anggaran untuk dikembalikan ke kas daerah. Lalu terkait Pengadaan Anggaran baju dinas anggota DPRD Kota Tangerang dengan total anggaran Rp. 675 Juta dengan belanja ongkos jahit pakaian dewan hingga Rp. 600 Juta. Terlebih Bahan – bahan yang digunakan ialah mengakomodir salah satu vendor Tersohor yakni Louis Vuitton.
Problematika semacam ini tentu menimbulkan dilematis akan Proses Desentralisasi yang sejatinya diwujudkan dan dicanangkan untuk sepenuh kepentingan masyarakat nyatanya malah di manfaatkan oleh segelintir Oknum Poliik untuk menggelembungkan kantong pribadinya dari Pendapatan Negara. Carut – marut Sentralistik antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga kerap kali menjadi teater publik dimana keduanya seketika “Memperebutkan” kewenangan yang jika kita dapat biaskan hal ini merupakan “Perebutan” kekuasan Intervensi atas Pelaksanaan Pemerintah. Regulasi yang kuat sepenuhnya haruslah diatur dalam tata aturan pemerintah sehingga tidak terjadi segregasi serta kelonggaran pada bias Politik ataupun Praktik Kecurangan yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat