Dilematis Pelaku Judol dan Pusaran Bansos

Kebijakan Pemerintah Melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menuai perdebatan publik. Pasalnya, ia memaparkan bahwa Pemain Judi Online dapat dimasukan kedalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai penerima Bantuan Sosial (Bansos). Sementara banyak pihak menilai bahwa tindakan ini dapat merugikan negara karena dianggap penyaluran bansos pada para Pemain Judi Online justru tidak tepat sasaran.

Aktivitas Ilegal Judi Online sendiri semakin massif di Tanah Air, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut adanya peningkatan fluktuasi dari transaksi Judi Online. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap transaksi keuangan yang memiliki keterkaitan dengan Judi Online mencapai Rp. 101 Triliun hingga kuartal I tahun 2024. “Kami menemukan transaksi sebesar Rp. 101 Triliun lebih” ungkapnya seperti dilansir dalam laman kompas.com (26/06/2024). Data yang cukup mencengangkan ini sendiri ditambah dengan temuan PPATK bahwa tercatat ada sekitar 7.000 Transaksi Judi Online yang ada pada DPR RI.

Peningkatan Jumlah transaksi yang cukup tinggi ini hingga bahkan memasuki Kursi Dewan Perwakilab Rakyat di Senayan sesungguhnya adalah Fakta yang memilukan. Padahal secara Jelas Praktik Judi Online ini mengandung unsur Pidana dan dapat dijerat dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 dengan ancaman Pidana paling lama 6 Tahun dan denda maksimal 1 Milyar. Judi Online sendiri kerap dipandang sebagai factor dilematis yang mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat akibat Perekonomian yang kurang stabil. Diketahu presentasi mayoritas Transaksi Judi online menyasar pada tingkat masyarakat dengan ekonomi yang kurang mampu.

Menko PMK Muhadjir Effendy dalam pandangannya menyebut Korban Judi Online bisa mendapatkan Bansos karena Bansos ditujukan bukan pada Penjudi namun pada mereka yang mengalami kerugian akibat penjudi. “Kerugian itu bias material, finansial, dan psikososial” jelasnya seperti dilansir dalam laman tempo.co.id (29/06/2024). Ia kemudian menjelaskan bahwa sang istri sebenarnya bisa masuk dalam kriteria penerima bantuan social lantaran merupakan korban yang mengalami masalah psikis akibat dugaan suaminya yang merupakan seorang penjudi online.

Disisi lain, Peneliti Senior Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Etika Karyani mengkritik kebijakan ini. Pasalnya kebijakan ini dinilai sangat riskan dan terjadi kekhawatiran bahwa dana bansos ini dapat dipakai untuk Judi Online kembali. Lebih dalam, ia menilai Alasan pelaku judi online dan keluarganya tak boleh diberikan bantuan social karena dapat dilihat sebagai bentuk pengakuan terhadap perbuatan illegal dan melanggar hukum. Jika bantuan tersebut diberikan, menurutnya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan menyebut pemberian bansos justru tidak mengatasi sumber masalah.

Jika kita telaah secara generative, Problematika ini dapat dipisahkan menjadi 2 Unsur yang berbeda antara Judi Online dan Bantuan Sosial. Keduanya menjadi satu elemen karena secara tidak langsung memiliki keterikatan hingga dianggap menimbulkan kausalitas padahal kedua fenomena ini tidak memiliki keterikatan satu sama lainnya. Judi Online sendiri dapat dikatakan sebagai masalah Psikologis Sosial yang dialami oleh Individu dengan latar belakang yang beragam bahkan memungkinkan Penggiatnya mendapatkan efek candu. Latar belakang ini juga bisa didasari oleh factor Perekonomian ditambah dengan sejumlah survei yang menyebut bahwa Presentase Masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah yang melakoni kegiatan ini cukup besar. Sementara Bantuan Sosial sendiri secara Definitif diberikan kepada Masyarakat yang masuk dalam kategori tidak mampu atau perekonomian sulit.

Pemahaman akan Pemain Judi Online tidak berhak menerima bantuan sosial jika kita tafsirkan secara generatif tentu bisa dikatakan kurang tepat, karena Bantuan Sosial menyasar dan “Hanya” di fokuskan pada Kategori tidak mampu dan terdaftar dalam DTKS. Jika kemudian dikaitkan dalam unsur pidana, tentu secara etika seseorang yang dengan jelas bahkan sadar melakukan tindakan pidana tidak patut menerima hal semacam ini, namun perlu digaris bawahi Unsur pidana yang dilakukan hanya diperbuat oleh dirinya sendiri yang secara otomatis keluarganya tidak terlibat dalam unsur pidana ini. Dari sini bisa kita katakana bahwa Surplus dari Pemberian Bansos buat dikhususnya pada Pelaku namun bagi Keluarganya karena secara tidak langsung Keluarga juga terdampak atas akibat yang telah diperbuat oleh pelaku secara individu.

Memang hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa Dana bantuan tersebut dikhawatirkan digunakan untuk kepentingan Judi Online kembali maka ini sudah memasuki konteks yang berbeda. Sedari awal Pelaku Judi Online disebabkan oleh gangguan mentalitas, maka yang perlu menjadi perhatian Pemerintah adalah bagaimana caranya agar melakukan Recovery Psikologi para Pelaku serta melakukan Tindakan pencegahan agar hal ini tidak kian berkembang di masyarakat. Recovery ini lah yang kemudian harus dijalankan secara kolaboratif baik dari Kementrian Sosial ataupun Elemen masyarakat lainnya yang dapat membantu serta membuka diri atas kemauan Pencegahan masalah – masalah psikologis yang menimpa.

Written by 

STAI Binamadani merupakan Perwujudan dari cita cita pendiri untuk memperjuangkan kesejahteraan kehidupan umat melalui perguruan tinggi yang dengan sengaja mentransfer ilmu ilmu agama, sosial, humaniora, dan eksakta.