Distorsi Literasi Pengajaran, Implikasi Budaya Menghafal

Mengajar memiliki esensi dasar untuk memanusiakan manusia, sehinga dalam prosesnya tentu harus memerdekakan manusia dari segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani dan rohani. Inilah konsep yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dimana ia berpandangan bahwa Konsen Pendidikan haruslah memiliki Sifat Holistik dan tidak ada keterpaksaan baik oleh si Pengajar ataupun Subjek yang diajarkan. Lebih dari itu konsen pengajaran dalam pendidikan juga memiliki muatansi mulia karena untuk membebaskan Masyarakat dari Belenggu ketidak tahuan akan Pengetahuan. Namun, dalam prosesi Pembelajaran terdapat beberapa rintangan baik dari Proses Pengumpulan Ide Bahan ajar, Media Pembelajaran, serta Pembawaannya. Hal ini yang kemudian menjadi Distorsi sehingga Menimbulkan Jalan Pintas yang seakan Keluar dari esensi dasar Pengajaran.

Gambar dari Detik News
Gambar dari VOA Indonesia

Materi yang mampu di pahami dengan baik oleh siswa tentulah harapan dari semua guru. Cepat dan lugas dalam menangkap Pembelajaran adalah Bukti Keberhasilan dari Prosesi Pengajaran. Namun, tiap siswa memiliki daya Intelegensianya masing masing dan tidak dapat di pukul rata. Faktor ini yang kemudian menjadi landasan utama untuk membuat jalan pintas dari seorang guru agar murid Mampu menangkap Pembelajaran dengan Baik, yaitu dengan cara Menghafal. Mampu memahami Materi dan juga mampu mengingat materi kadang kala di asumsikan sebagai suatu kesamaan. Nyatanya ini adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat di samakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menghafal diartikan sebagai usaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu ingat, dan inilah yang kemudian dijadikan “Jalan Pintas” oleh seorang guru karena baik secara sadar atapun tidak sadar mengasumsikan bahwa keduanya memiliki kesamaan. Padahal, Memahami memiliki esensi yang lebih dalam dan lebih fundamental karena mampu melakukan rekonstruksi ulang atau bahkan menuangkan inovasi atas pemahaman yang ia miliki.

Belajar Sejatinya memiliki posisi dalam dimensi yang berbeda dari Proporsi realitas lainnya. Dilansir dari laman Kompas.com, Doktor Fisika Terapan dari Tohoku University Jepang Hasanudin Abdurakhman menjelaskan Menghafal dan Belajar tidaklah sama, Ia menjelaskan Keduanya memiliki Proporsional yang berbeda yang terletak pada Pentingnya Proses Pencernaan Informasi. “Entah kenapa Pembuat kurikulum kita begitu bersemangat menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan kepada anak – anak sejak usia dini. Demikian banyaknya, sehingga guru tak sanggup membangun pemahaman kepada anak – anak atas setiap subjek pelajaran. Anak – anak pun tak sanggup memahaminya. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas, Hafalkan saja” Tegasnya (14/12/2016). Dari faktor sebab akibat ini, tentu secara massif akan menimpulkan Implikasi budaya Jalan Pintas menjadi momok yang lumrah dan seakan di cap menjadi jalan utama, dan lagi lagi Jalan Pintas tidak semulus Jalan utama karena terdapat Faktor Instan didalamnya. “Kalau kita rajin melakukan Latihan beban secara berulang, maka otot kita akan membesar. Itu adalah memori yang menandai aktivitas (fisik) tadi. Menghafal sama dengan memberi tanda itu pada otak. Konsekuensinya bila prosesnya kita hentikan maka perlahan akan lupa.”Tegasnya.

Problematika yang jarang termuat secara sadar ini akan menimbulkan ketimpangan secara alamiah baik dalam waktu singkat atau kurun waktu yang akan datang. Siswa dituntut secara langsung untuk mendengarkan Doktrin Ajar dari Guru yang tidak dapat kita pungkiri memiliki sifat statis apalagi dengan adanya system Penghafalan Materi. Ketimpangan ini akan terjadi diantara para siswa yang memiliki intelegensia baik dalam mengingat ataupun kurang dalam mengingat. Hasilnya, Penurunan Motivasi dalam belajar menjadi hal yang wajar. Di sisi lain, Dalam menghafal, siswa tidak mampu untuk “Memahami” esensi dari materi yang di sampaikan, karena esensinya telah dirubah dari hal Memahami untuk Konsen Hidup namun beralih kepada Menghafal Demi mencapai Nilai Kumulatif saat Prosesi Ujian. Memilukannya lagi Soal – soalnya pun mengikuti Kebijakan Penghafalan ini sehingga memunculkkan Sistem Multiple Choice serta Uraian yang sebetulnya bukan Memiliki Esensi mengurai tapi menuliskan ulang Texbook yang ada. Padahal, Hal senada ini juga pernah di paparkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim seperti dilansir oleh Kompas saat menghadiri Raker Komisi X DPR RI di Senayan. “Untuk mendapatkan angka yang baik, dan karena Cuma punya beberapa jam, sehingga semua materi harus di – cover yang ujung – ujungnya harus hafal. Tapi setelah ujian apa yang terjadi ? Lupa” Tegasnya (14/12/2019).

Gambar dari Suara Malang
Gambar dari Tempo

Dalam melakukan Pengajaran, Guru tentulah harus memiliki Planning yang matang sebelum melakukan Prosesi Pengajaran. Persiapan ini dilakukan secara mendetil dengan menempuh tahap demi tahap serta Inovasi agar Materi yang diberikan mampu “Dipahami” dengan baik dan Bukan “Dihapal” dengan baik. Sarwandi dalam Jurnalnya yang berjudul Penerapan Strategi Cara Belajar Siswa yang Aktif (CBSA) untuk Meningkatkann Hasil Belajar siswa menjelaskan bahwa Strategi Pembelajaran yang aktif adalah Strategi yang didalamnya melibatkan siswa dalam mencari Informasi untuk dipelajari dalam proses Pembelajaran agar pengalaman yang didapatkan dapat meningkat. Interaksi dinamis yang dilakukan Guru dengan Siswa tentu akan menjad sebuah Harmoni dapat proses pembelajaran dan memungkinkan siswa mampu memahami materi yang diajarkan dengan baik dan bukan atas dasar Penekanan Penghafalan. Ia juga menjelaskan Salah satu dari ciri – ciri CSBSA adalah Pendidik memberikan wawasan tentang cara berpikir agar terselesaikannya suatu masalah. Faktor ini yang kemudian menimbulkan Pertukaran antara Gagasan yang terjadi didalam ruang kelas dan siswa juga mampu menganalisa sesuai dengan pemahaman yang ia dapatkan.

Dilansir dari Journal of Education dengan Judul Model Pembelajaran Kooperatif: Apakah Efektif untuk meningkatkan Belajar peserta didik? Juga menjabarkan mengenai Strategi yang efektif dilakukan oleh seorang guru dalam rangka meningkatkan kualitas Siswa. Disebutkan bahwa Salah satu model pembelajaran yang efektif guna meningkatkan moivasi belajar peserta didik adalah model pembelajaran kooperatif. Model ini menekankan pada kerja sama dan interaksi antara peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Melalui interaksi ini Mereka akan diajak untuk berkomunikasi, berbagi ide, dan saling membantu dalam memahami dan memecahkan masalah. Pembelajaran tidak berjalan satu arah yang kadang kala malah mengalami stagnansi namun menggunakan dua arah, agar terdapat laju pertukaran ide antar siswa.

Gambar dari Tribun Jakarta

Tentu perlu dipahami bahwa Seorang Guru harus memiliki “Ruh” mengajar, sehingga ia mampu untuk menemukan Esensi dasar dari Pengajaran itu sendiri. Jika guru menemukan esensi mengajar tentulah ia tidak akan memberikan Pemahaman yang justru mengalami distorsi dari esensi mengajar sesungguhnya yakni Memahami bukan Menghafal. Terlebih, Menghafal sama dengan Menekan para siswa agar bersifat statis dalam mengetahui isi dari textbook yang ini tentu akan mengekang kebebasan berpikir dari para siswa. Jelas hal ini sangat bertentangan dari Konsep Pendidikan dan juga Konsep Pengajaran yang di ilhami oleh salah satu Founding Father Pendiri Bangsa yaitu Ki Hadjar Dewantara yang menyebutkan Esensinya adalah Memanusiakan Manusia. Terlebih, Menghafal hanya memiliki Cakupan Jangka Pendek sehingga Individu nantinya akan mengalami kebuntuan saat ditanya mengenai esensi dasar dari apa yang dia hafal karena tidak mampu merekonstruksikannya. Dampak buruk ini akan berimplikasi pada kehidupannya di masa mendatang dari mulai sukar menyatakan pendapat ataupun gagasan karena terbiasa untuk menghafal dibandingkan melepaskan Analisa serta Konsep.

Written by 

STAI Binamadani merupakan Perwujudan dari cita cita pendiri untuk memperjuangkan kesejahteraan kehidupan umat melalui perguruan tinggi yang dengan sengaja mentransfer ilmu ilmu agama, sosial, humaniora, dan eksakta.