Kebutuhan Sumber Daya Energi dalam perkembangan zaman adalah hal yang sangat di prioritaskan. Transisi era dimana Berpindahnya Haluan dari Pemanfaatan Sumber Daya Energi Fosil yakni Minyak bumi menuju Sumber Daya terbaharukan mulai gencar dilaksanakan di berbagai belahan dunia, utamanya Indonesia. Transisi Energi ini kemudian merujuk pada Penggunaan Energi Listrik sebagai Langkah transisi atas ketergantungan manusia terhadap Energi Fosil yang dianggap tidak ramah lingkungan dengan cadangan yang kian menipis. Nikel, menjadi salah satu Primadona dunia karena menjadi Bahan Pokok utama demi terlaksananya Transformasi Energi listrik. Nikel sendiri menjadi bahan baku utama dari Pembuatan Baterai Listrik dimana hal ini merupakan salah satu Faktor Primer yang dibutuhkan dalam Peredaran Kendaraan Listrik. Primadona yang salah satunya terdapat di Bumi Indonesia ini kemudian menjadi Problematika akibat Kebijakan – kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas Nikel yang kemudian digadang gadang sebagai bentuk Hilirisasi Ekonomi.
Pemerintah sendiri Seperti telah melarang Ekspor terkait Bijih Nikel yang terhitung dari 1 Januari 2020. Dalam Keterangan Persnya seperti di kutip dalam Laman esdm.go.id, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menyebut larangan ini diikuti dengan Berkembangnya Pembangunan Smelter khususnya Nikel di dalam Negeri yang dianggap lebih cepat. “Kita sudah Menandatangani, Peraturan Menteri ESDM yang intinya adalah mengenai penghentian untuk insentif ekspor niken bagi pembangun smelter per tanggal 1 Januari 2020. Jadi Per 1 Januari 2020 tidak ada lagi ekspor nikel” ujarnya (2/10/2019).
Penghentian Ekspor Bijih Nikel ini juga mengacu pada bentuk Kemandirian Indonesia dalam mengolah Sumber Daya Energinya. Kemandirian ini juga merupakan bagian dari Hilirisasi Perekonomian Nasional yang di gaungkan oleh Pemerintah utamanya dalam Investasi pada sektor Nikel yang telah perkembang pesat dengan berdirinya smelter nikel. Lebih jauh, Presiden Republik Indonesia yakni Joko Widodo menyebut bahwa Investasi Hilirisasi Nikel sudah Tumbuh Pesat. “Sebagai gambaran, setelah kita stop ekspor nikel ore di 2020. Investasi Hilirisasi Nikel tumbuh pesat, kini telah ada 43 Pabrik pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar. Ini baru 1 Komoditas”Ujarnya saat Pidato dalam sidang tahunan MPR RI seperti dilansir dalam CNBC (16/08/2023).
Disisi lain, Kebijakan Pengelolaan Bijih Nikel ini kemudian mendapat sorotan dari Berbagai Pihak utamanya dari Praktisi Ekonomi. Faisal Basri menyebut bahwa Kebijakan Hilirisasi Nikel yang dilakukan oleh Pemerintah dinilai hanya akan menguntungkan Industri China. Ia juga secara gambling menyangkal pernyataan Presiden yang menyebutkan bahwa dampak Hilirisasi Nikel ini akan mendapati keuntungan Rp. 510 Triliun dibandingkan Ekspor Mentah yang dinilainya hanya akan Mendapati Keuntungan Rp. 17 Triliun.. “Lalu, dari mana angka Rp. 510 Triliun ? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US 27,8 Miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar Rp. 14.876 Per US, nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp. 413,9 Triliun. Ujarnya seperti dilansir dalam laman CBC (12/08/2023). Terlebih ia juga memaparkan bahwa perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh China dan Indonesia dan Menganut Rezim Devisa bebas yang mana Perusahaan China untuk bebas membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau negerinya sendiri.
Problematika serta Perbedaan Perhitungan serta Pandangan ini yang kemudian menjadi sebuah dilematis. Perbedayaan Otonom yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Kelangsungan Sumber Daya Energinya sebagai mana bentuk Impelemtasi dari UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yakni “Bumi,Air, dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat” justru seakan menjadi tanda tanya. Hilirisasi yang menjadi slogan dari Pemerintahan menjadi bias akibat faktor timbal balik serta kebijakan visa istimewa yang ditautkan pada perusahaan pengelola Bijih nikel ini. Bahkan secara gambling, seperti dilansir dalam laman CNBC. Wakil Presiden Indonesia ke 10 dan 12 yakni Jusuf Kalla mengungkap bahwa 90% terkait kekayaan pengelolaan nikel ini dikuasai oleh China. “Kenapa kita selalu tidak percaya diri, kita bicara banyak hal, kita bicara nikel, 90% nikel ini dikuasai China karena mereka selalu menganggap teknologi adalah mereka. Kita selalu harga diri rendah, seakan-akan tidak bisa menguasai teknologi,” katanya dalam Economix FISIP UI(27/11/23).
Dalam sudut pandang kajian akademis, kita tentu dapat menelaah kedua aspek ini diikuti dengan data – data yang terpublikasi oleh pemerintah terkait Kebijakan Hilirisasi Bijih nikel ini. Secara jelas dan tegas, tentu Negara harus Menerapkan dengan baik terkait Amanat UUD 1945 yang dalam hal ini dapat menunjukkan Kemerdekaannya secara utuh dan tidak mengalami ketergantungan ekonomi ataupun deficit ekonomi akibat berbagai kebijakan yang diambil tidak didasari dari Nilai Pancasila ataupun amanat UUD 1945. Perlu dicermati, Segala bentuk kerugian yang ada terjadi atas Pengambilan keputusan yang keliru terkait Pengelolaan Bijih Nikel ini akan berdampak sangat signifikan untuk kelangsungan Kehidupan Bernegara utamanya dalam Sektor Energi dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Negeri.